Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

ICC Ajukan Surat Perintah Penangkapan 2 Pemimpin Taliban

bendera Afghanistan (unsplash.com/Farid Ershad)
Intinya sih...
  • Jaksa penuntut utama ICC mengajukan surat perintah penangkapan terhadap dua pemimpin Taliban di Afghanistan
  • Pemimpin tertinggi Taliban dan kepala hakimnya dituduh melakukan penganiayaan terhadap perempuan di Afghanistan
  • Prosedur pengadilan memakan waktu rata-rata tiga bulan, dan kurangnya kerja sama dari otoritas Taliban memperlambat penyelidikan

Jakarta, IDN Times - Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) berupaya menangkap dua pemimpin Taliban di Afghanistan, yang dituduh melakukan penganiayaan terhadap para perempuan di sana. Jaksa penuntut utama di ICC, Karim Khan, mengatakan bahwa ia telah mengajukan surat perintah penangkapan kedua pemimpin Taliban tersebut.

Dalam pernyataan yang dikeluarkan oleh kantornya pada Kamis (23/1/2025), Khan mengatakan bahwa terdapat alasan yang masuk akal untuk meyakini bahwa pemimpin tertinggi Taliban, Haibatullah Akhundzada, dan kepala hakimnya, Abdul Hakim Haqqani, memikul tanggung jawab pidana atas kejahatan terhadap kemanusiaan berbasis gender.

"Keduanya bertanggung jawab secara pidana karena menganiaya anak perempuan dan wanita Afghanistan, serta orang-orang yang dianggap Taliban tidak sesuai dengan ekspektasi ideologis mereka terkait identitas atau ekspresi gender, dan orang-orang yang dianggap Taliban sebagai sekutu anak perempuan dan wanita," ujarnya.

Para hakim ICC kini akan memutuskan apakah akan mengeluarkan surat perintah penangkapan tersebut. Prosedur ini biasanya memakan waktu rata-rata tiga bulan.

1. Langkah ini disambut baik oleh kelompok pembela hak-hak perempuan

Khan mengatakan bahwa penganiayaan tersebut telah terjadi di seluruh Afghanistan setidaknya sejak pasukan Taliban merebut ibu kota, Kabul, pada 15 Agustus 2021. Sejak itu, kelompok tersebut telah membatasi hak-hak perempuan, termasuk dalam hal pendidikan dan pekerjaan.

Pemerintah Taliban sejauh ini belum memberikan komentar terkait pernyataan Khan.

Dilansir dari BBC, kantor kejaksaanmengatakan bahwa ada beberapa masalah yang memperlambat laju penyelidikan. Salah satunya adalah kurangnya kerja sama dari otoritas Taliban.

"Karena ketakutan, individu-individu yang memiliki informasi penting untuk penyelidikan seringkali enggan untuk melampor," ungkap kantor tersebut.

Nader Nadery, peneliti senior di Wilson Center yang berbasis di Washington, mengatakan bahwa banyak perempuan Afghanistan telah lama menunggu momen ini.

“Meskipun hal ini tidak serta merta mengubah keadaan, hal ini memberikan pesan yang kuat bahwa tidak akan ada impunitas. Hal ini membangun harapan bagi banyak aktivis dan perempuan Afghanistan bahwa mungkin ada jalan ke depan, dan menjaga harapan tersebut tetap hidup, saya yakin, adalah kontribusi besar saat ini," ujarnya kepada BBC.

2. Surat perintah penangkapan ICC kemungkinan tidak akan berdampak besar bagi Akhundzada

Khan mengatakan bahwa pihaknya berusaha menunjukkan komitmen mereka untuk mengupayakan akuntabilitas atas kejahatan berbasis gender, dan bahwa interpretasi Taliban terhadap hukum syariah Islam tidak dapat dijadikan pembenaran atas pelanggaran hak asasi manusia.

 “Wanita dan anak perempuan Afghanistan serta komunitas LGBTQI+ menghadapi penganiayaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, tidak masuk akal, dan berkelanjutan oleh Taliban. Tindakan kami menandakan bahwa status quo bagi wanita dan anak perempuan di Afghanistan tidak dapat diterima,” kata jaksa tersebut.

Zalmai Nishat, pendiri badan amal Musa Afghanistan yang berbasis di Inggris, menilai bahwa jika surat perintah ICC dikeluarkan, hal ini mungkin tidak akan berdampak besar pada Akhundzada, yang jarang bepergian ke luar negeri.

“Tetapi dalam hal reputasi internasional Taliban, ini pada dasarnya berarti terkikisnya legitimasi internasional mereka, jika mereka memilikinya,” tambahnya.

3. Afghanistan jadi satu-satunya negara yang melarang perempuan bersekolah

Afghanistan merupakan satu-satunya negara di dunia di mana perempuan dilarang mengakses pendidikan menengah dan tinggi. Taliban telah berulang kali berjanji akan mengembalikan perempuan ke sekolah setelah sejumlah masalah diselesaikan, termasuk memastikan kurikulum yang diterapkan sesuai prinsip Islami. Namun sampai saat ini, hal tersebut belum kunjung terlaksana.

Salon kecantikan telah ditutup, dan para perempuan dilarang memasuki taman, pusat kebugaran, serta pemandian umum. Mereka juga harus menutup tubuh mereka dari kepala hingga kaki dan dilarang bepergian tanpa pendamping laki-laki.

Pada Desember 2024, pihak berwenang juga dilaporkan menghentikan pelatihan dan kursus medis bagi perempuan, sehingga menutup jalur terakhir mereka untuk melanjutkan pendidikan di negara tersebut.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us