Israel Deportasi Pengacara HAM Palestina ke Prancis

Jakarta, IDN Times - Pengacara hak asasi manusia Palestina- Prancis yang bekerja untuk Addameer, Salah Hamouri, telah dideportasi oleh Israel ke Prancis pada Minggu (18/12/2022). Dia dituduh telah membahayakan keamanan.
Adapun Addameer merupakan lembaga bantuan hukum dan hak-hak bagi tahanan Palestina
Hamouri merupakan penduduk Yerusalem, tapi Israel telah mencabut izin tinggalnya pada 1 Desember atas tuduhan aktif di Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP), yang diklasifikasikan oleh Israel dan sekutu Baratnya sebagai teroris. Addameer dikaitkan Israel dengan PFLP.
1. Prancis mengecam deportasi

Melansir BBC, Kementerian Dalam Negeri Israel menuduh Hammouri telah mengatur, mengilhami, dan merencanakan teror terhadap warga negara dan orang terkenal Israel.
"Keadilan telah dilakukan terhadap teroris dan dia telah dideportasi dari Israel. Ini adalah proses panjang dan pencapaian luar biasa, bahwa saya dapat mendeportasi sebelum tugas saya berakhir, menggunakan perangkat yang saya miliki untuk memajukan perang melawan terorisme," kata Menteri Dalam Negeri, Ayelet Shaked, yang merupakan bagian dari pemerintah Israel yang akan segera digantikan.
Hammouri memegang kewarganegaraan Perancis melalui ibunya. Kementerian Luar Negeri Prancis mengecam keputusan Israel dan berjanji untuk membela hak-hak Hammouri.
2. Dihukum oleh Israel

Hammouri pernah dijatuhi hukuman penjara oleh Israel pada 2005 atas tuduhan percobaan pembunuhan rabi Sefardi Ovadia Yossef, pendiri partai ultra-Ortodoks Shas. Hammouri membantah berusaha melakukan pembunuhan.
Hukuman penjara dia jalani selama enam tahun. Hamouri bebas setelah Hamas membebaskan Gilad Shalit, tentara Israel yang ditawan di Jalur Gaza selama lebih dari lima tahun. Israel pada tahun itu juga membebaskan 1.027 tahanan.
Hamouri pada Maret kembali ditahan dalam penahanan administratif tanpa dakwaan hingga 1 Desember. Penahanan semacam itu secara rutin digunakan Israel untuk menahan tersangka militan selama berbulan-bulan tanpa dituntut atau diadili.
Setelah empat bulan ditahan, Hammouri menulis surat kepada Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk meminta bantuan. Namun, dia diklasifikasikan sebagai tahanan berisiko tinggi dan dipindahkan ke penjara dengan keamanan lebih ketat di Israel tengah.
Untuk menyerukan pembebasannya, Hammouri memulai mogok makan pada akhir September. Aksi tersebut diakhiri setelah 19 hari, di mana dia dilaporkan ditempatkan di sel isolasi.
Hammouri bulan lalu diberi tahu bahwa dia akan dideportasi tanpa pengadilan. Deportasi itu ditunda karena pengacaranya menentang kasus tersebut, tapi Mahkamah Agung menolak bandingnya pada awal bulan ini.
3. Israel berusaha menguasai Yerusalem

Melansir Reuters, Hamouri adalah salah satu dari mayoritas lebih dari 340 ribu warga Palestina di Yerusalem Timur yang memegang izin tinggal Israel, tapi hanya sedikit yang memiliki kewarganegaraan Israel.
Israel merebut Yerusalem dalam perang 1967, menganggap semua bagian kota suci itu sebagai wilayahnya dan menetapkanya sebagai ibu kota. Orang-orang Palestina telah lama berusaha memperoleh kota suci tersebut.
"Ke mana pun seorang Palestina pergi, dia membawa serta prinsip-prinsip ini dan tujuan rakyatnya, tanah airnya dibawa bersamanya ke mana pun dia berakhir," kata Hamouri.
Direktur eksekutif HaMoked, sebuah organisasi yang mewakili Hamouri, mengatakan bahwa kasus Hamouri menjadi preseden deportasi warga Yerusalem yang memiliki kewarganegaraan alternatif.
"Karena dia memiliki kewarganegaraan kedua, itu membuatnya lebih rentan untuk dideportasi," kata direktur Jessica Montell, seraya menambahkan bahwa dia memperkirakan kasus serupa akan muncul lebih sering dengan koalisi sayap kanan baru yang diperkirakan bakal membentuk pemerintahan Israel berikutnya.
Ahmed Majdalani, anggota Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina, menyebut deportasi itu telah melanggar hukum.
"Dia tidak melakukan kejahatan apa pun untuk dideportasi dari tanah airnya dan diusir ke negara lain, di mana dia tinggal untuk waktu yang singkat meskipun dia memiliki kewarganegaraan negara itu," kata Majdalani.