Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ada Isu Warganya di Jakarta akan Disweeping, Ini Kata Dubes India

(Aksi unjuk rasa di depan Kedutaan India di Jakarta pada 6 Maret 2020) ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

Jakarta, IDN Times - Duta Besar India untuk Indonesia, Pradeep Kumar Rawat mempercayakan sepenuhnya keamanan warga India yang bermukim di Tanah Air ke otoritas berwenang. Pradeep yakin otoritas keamanan di Indonesia akan memberikan perlindungan mumpuni dari aksi ancaman sweeping yang dilakukan oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) hingga Front Pembela Islam (FPI). 

Warga India yang bermukim di Indonesia menjadi target sweeping sebagai buntut dari konflik antar agama yang terjadi di India. Warga Muslim di India memprotes amandemen Rancangan Undang-Undang (RUU) kewarganegaraan India. Bagi warga Muslim, amandemen RUU itu dianggap mempersulit kemungkinan umat Muslim jadi warga negara di India. 

Akibatnya terjadi unjuk rasa pada (23/2) lalu di New Delhi antara demonstran yang beragama Hindu dan Muslim. Stasiun berita BBC melaporkan kedua kelompok itu saling serang hingga menewaskan sebanyak 20 orang. 

Lalu, apa komentar Dubes Pradeep?

"Perlindungan kepada warga negara India diserahkan sepenuhnya kepada otoritas terkait," ungkap Pradeep seperti dikutip dari kantor berita Antara (6/3). 

Apa pula komentar Dubes Pradeep ketika negaranya dinyatakan telah bersikap diskriminatif terhadap warga Muslim melalui amandemen RUU Kewarganegaraan India? Apa sih isi RUU kewarganegaraan India yang baru?

1. Dubes India untuk Indonesia bantah ada persekusi terhadap umat Muslim di India

pexels.com/sudipta mondal

Dubes Pradeep membantah adanya tindakan persekusi atau diskriminasi terhadap umat Muslim di India. Bahkan, jumlah penduduk Muslim di India dari tahun ke tahun semakin bertambah. 

"Jumlah umat Muslim dari 35 juta ke 200 juta. Dari 9 persen jumlahnya ke 14 persen. Apakah itu tidak menjadi bukti tersendiri?" tanya Pradeep kepada media di Jakarta dan dikutip dari Antara

Selain itu, apabila India memang bersikap diskriminatif maka tidak mungkin negara itu memiliki Presiden Muslim. Tiga kali India dipimpin oleh presiden beragama Islam. 

"Saya menceritakan fakta ini ke teman-teman. Kita sebagai orang yang berpendidikan dan rasional, kita seharusnya bisa menerima fakta-fakta tersebut," tutur dia lagi. 

Data itu, kata Pradeep bisa ditelusuri dan dicerna lebih jauh. 

2. Dubes India untuk Indonesia meminta publik agar tidak mudah terprovokasi

(Pendukung oposisi utama India Partai Kongres meneriakkan slogan dalam protes atas inflasi di Ahmedabad, India) ANTARA FOTO/REUTERS/Amit Dave

Dalam menghadapi isu mengenai kontroversi amandemen RUU Kewarganegaraan India, Dubes Pradeep mengajak publik termasuk yang berada di Tanah Air untuk melihat isunya lebih jernih. Menurutnya, semua data sudah terpampang di ruang publik dan tak sulit mencarinya. 

"Data itu tidak bisa berbohong dan kita seharusnya yang logis dan dapat mencerna," tutur dia. 

Lantaran memakan mentah-mentah informasi yang beredar di media sosial, maka hal itu bisa dimanfaatkan oleh segelintir orang. Pradeep bahkan menyebut orang-orang yang memanfaatkan itu tergolong ekstrim. 

"Kenapa golongan ekstrim ini sukses? Karena mereka menyebarkan sesuatu, mengeksploitasi keadaan di media sosial. Mereka membuat berita, video bohong, membuat narasi yang bisa mengeksploitasi emosi seseorang. Karena itulah mereka sukses," ungkapnya lagi. 

Menurut dia, doktrin yang disebarkan melalui media sosial sengaja untuk memancing kebencian dan emosi publik. Tapi, mereka tak menjelaskan fakta yang sesungguhnya seperti apa. 

3. Ini isi amandemen RUU Kewarganegaraan India yang memicu kontroversi

(Seseorang berdemonstrasi di India mengenai RUU Kewarganegaraan yang baru) ANTARA FOTO/REUTERS/Adnan Abidi

Unjuk rasa yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa di India dalam beberapa hari terakhir bermula dari keputusan pemerintah yang melakukan amandemen terhadap UU Kewarganegaraan. Stasiun berita BBC edisi 11 Desember 2019 lalu melaporkan UU baru itu menggantikan aturan serupa yang telah berlaku selama 64 tahun di India. 

Di dalam UU itu dijelaskan secara pasti imigran ilegal adalah orang asing yang memasuki teritori India tanpa dokumen yang sah seperti paspor atau tinggal melebihi batas waktu yang ditentukan. Imigran ilegal bisa dideportasi atau dibui. 

UU baru juga merevisi aturan di mana untuk bisa menjadi warga negara India, maka ia harus tinggal di negara Bollywood itu atau bekerja untuk pemerintah federal minimum selama 11 tahun sebelum dapat mengajukan permohonan menjadi warga negara. Aturan itu kemudian direvisi menjadi mereka bisa mengajukan jadi warga negara asal bermukim atau bekerja di India selama enam tahun. 

Pemerintah India memberikan pengecualian bagi warga yang ingin menjadi warga negara India dari enam agama minoritas yakni Hindu, Sikh, Budha, Jain, dan Kristiani. Namun, warga dengan enam agama itu harus bisa membuktikan dengan dokumen tertulis bahwa mereka berasal dari Pakistan, Afghanistan atau Bangladesh. Niat Pemerintah India sebenarnya ingin mempercepat warga yang mencari perlindungan ke India karena di negara asalnya ada konflik atau jadi korban persekusi. 

Tetapi, UU baru ini menjadi kontroversi karena di dalam konstitusi India, tidak ada satu pun yang menyatakan seseorang bisa dikabulkan menjadi warga negara karena melihat agama dan kepercayaan yang dipeluknya. Terlebih di dalam aturan baru tidak tercantum warga dengan agama Islam bisa ikut dipercepat prosesnya menjadi warga India. Padahal, bisa jadi mereka turut menjadi korban persekusi di negara asalnya. 

Di dalam konstitusi India jelas tertulis, melarang diskriminasi agama terhadap warganya dan mengabulkan hak bagi semua warga. Semua warga di mata hukum posisinya adalah setara. 

Pengacara yang bertugas di Delhi, Gautam Bhatia mengatakan pembedaan migran berdasarkan agama Muslim dan non Muslim di dalam UU itu jelas menandakan adanya tindakan diskriminasi. 

"Hal itu bertentangan dengan konstitusi sekuler dan sikap kita selama ini di India," ungkap Gautam seperti dikutip dari BBC

4. Warga India di Indonesia diancam akan disweeping oleh GNPF dan PA 212

(Demonstran berunjuk rasa di depan gedung Kedutaan India di Jakarta) ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Ancaman adanya sweeping terhadap warga India yang bermukim di Indonesia, khususnya di Jakarta sempat disampaikan ketika digelar aksi unjuk rasa di depan Kedutaan India di ibukota pada (6/3) lalu. Ketua PA 212, Slamet Ma'arif mengatakan aksi sweeping akan dilakukan bila pihak Kedutaan India tidak menepati janji untuk menemui mereka pada pekan depan. 

Slamet mengaku kecewa karena ketika mereka berunjuk rasa di depan area kedutaan, karena Dubes tidak bisa menemui mereka. Bahkan, area kedutaan sudah digembok. 

"(Dubes) tidak ada di tempat, kemudian kantornya juga sudah digembok," ungkap Slamet dengab menggunakan alat pengeras suara dari mobil komando. 

Hanya seorang staf kedutaan yang menerima pesan Slamet dan berjanji akan menyampaikan ke Dubes. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Follow Us