Kemlu: Ada Modus Pelaku TPPO Ngaku Jadi Korban agar Tak Kena Denda

- 20 WNI di Laos mengaku korban TPPO, namun beberapa ternyata perekrut
- Korban TPPO ingin terbebas dari denda imigrasi dan biaya penanganan kasus dibebankan kepada negara
Jakarta, IDN Times - Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, mengatakan, tak semua WNI yang diselamatkan dalam upaya tindak pidana perdagangan orang (TPPO) merupakan korban.
Ia mengatakan, ada 20 WNI di Laos yang mengaku menjadi korban TPPO. Namun, ketika didalami oleh tim Kemlu dan Bareskrim Polri, beberapa WNI itu ternyata justru perekrut.
"Ada yang mengatakan, 'Pak, itu perekrut saya.' Kemudian kami limpahkan ke Bareskrim dan akhirnya dua di antara 20 WNI itu ditetapkan sebagai tersangka," ujar Judha, dikutip dari YouTube AJI pada Minggu (15/12/2024).
Ia mengatakan, alasan para WNI ini mengaku sebagai korban TPPO, yaitu ingin terbebas dari denda imigrasi. Sebab, rata-rata para WNI itu tinggal di sana sudah melebihi izin yang diberikan oleh otoritas setempat atau overstayed.
Dia mengatakan, dalam mengidentifikasi korban TPPO, mereka mengacu kepada norma hukum internasional non-punishable principle.
"Korban TPPO tidak boleh dikriminalisasi atau dihukum karena kesalahan pidana yang dia lakukan. Bila mereka korban TPPO, maka dendanya bisa dibayarkan atas koordinasi otoritas setempat dengan KBRI," kata dia.
Para WNI itu juga mengaku sebagai korban karena ketika diklasifikasi sebagai korban, maka biaya penanganan kasus dibebankan kepada negara.
"Tiket kepulangan akan kami siapkan. Jadi, mereka ingin pulang secara gratis," kata dia.
1. Para WNI mengaku sebagai korban pada pelaku TPPO agar tidak ada tuntutan hukum

Judha mengatakan, para pelaku TPPO mengaku dirinya korban agar tidak terkena tuntutan hukum di Tanah Air.
"Untungnya Bareskrim bisa melakukan penyelidikan dan pemilihan yang baik, akhirnya mereka bisa ditetapkan sebagai tersangka," ujar dia.
Ia menambahkan, ketika WNI dikatakan sebagai pelaku TPPO, terdapat skala berbeda-beda. Ada yang menjadi perekrut dan ada pula yang sudah bergabung ke dalam organisasi.
Judha juga menyebut ada fenomena WNI yang sudah dipulangkan karena menjadi korban TPPO di praktik penipuan online, tetapi belakangan malah kembali ke negara tersebut.
"Memang ada yang betul-betul menjadi korban. Namun, juga ada sukses lalu naik tingkat menjadi leader. Mereka ini lah yang ternyata melakukan tindak kekerasan ke sesama WNI," kata dia.
2. Judi online dan penipuan online dianggap mata pencaharian baru

Ia juga melihat adanya fenomena menormalisasi untuk bekerja di sektor penipuan dan judi online.
"Saat ini kami melihat ada semacam normalisasi, judi online dan online scam menjadi bentuk mata pencaharian baru," katanya.
Ia mengatakan, pihaknya menemukan sejumlah WNI yang tertarik bekerja di sektor judi online dan penipuan online, terpicu oleh iming-iming gaji yang tinggi.
"Ada WNI yang secara sadar ingin bekerja di sektor itu, karena gaji tinggi. Jadi, tidak ada unsur TPPO-nya," ujar dia.
Judha juga mengungkapkan, selama periode 2020-2024, terdapat 5.111 kasus penipuan online yang terdeteksi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.290 kasus dinyatakan sebagai TPPO.
3. WNI yang menusuk lansia di Jepang punya utang judi online Rp9 juta

Di forum itu, Judha juga menjelaskan perkembangan dari WNI pemagang YAP yang mencoba melakukan pembunuhan terhadap dua lansia di Perfektur Shizouka, Jepang. Ia mengatakan sudah bertemu dengan YAP di penjara.
"Motif yang bersangkutan melakukan perampokan terhadap lansia ini karena yang bersangkutan sudah kehabisan uang untuk judi online. Dia sudah menghabiskan Rp25 juta. Lalu, dia berutang ke temannya Rp9 juta," kata Judha.
YAP mengaku bingung dan gelap mata hingga akhirnya melakukan perampokan di rumah lansia.
"Saya tanya website apa yang dipakai, dijawab website judi online Indonesia," kata dia.
"Jadi, dia sudah kecanduan judi online sejak di Indonesia. Dapat penghasilan di sana (Jepang), mungkin banyak ikut judi online dan kalahnya banyak," ucap dia.