Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Korban Penembakan Las Vegas: Kami Seperti di Video Game

ANTARA FOTO/REUTERS/Chris Wattie

Las Vegas selama ini dikenal sebagai kota yang menawarkan kebahagiaan dengan gemerlap lampu, hotel-hotel berbintang, dan kasino mewah. Pada Minggu malam (1/10), kota itu justru menjadi lokasi terjadinya sebuah mimpi buruk untuk warga Amerika Serikat.

Seorang teroris bernama Stephen Paddock yang berusia 64 tahun melakukan penembakan massal yang sejauh ini menewaskan 58 orang dan melukai lebih dari 500 orang. Ia menembak ke arah penonton konser musik country Route 91 Harvest dari lantai 32 Mandalay Bay Hotel. Hingga kini, kepolisian belum mengetahui apa motif Paddock yang langsung bunuh diri usai melancarkan aksi terkutuknya.

Default Image IDN

Bagi seorang korban selamat, tragedi itu seperti video game di mana ia menjadi target peluru.

Default Image IDN

Jennifer Birn menuturkan apa yang dialami dan dirasakannya saat serta usai tragedi penempakan tersebut kepada Cosmopolitan. Ia hadir dalam konser musik tersebut bersama temannya. Seseorang berteriak dan menyuruh yang lain untuk segera lari. Karena panik, semua orang mulai berlarian ke berbagai arah.

Semuanya mencoba menyelamatkan diri. Danielle, teman Jennifer, berlari ke arah tempat parkir di mana seorang perempuan yang naik mobil menawarinya untuk segera pergi dari tempat tersebut dan kembali ke hotel. "Orang-orang membuka pintu belakang mobil agar yang lain bisa masuk, dan korban-korban yang terkena tembakan tiga kali ditumpuk di atas Danielle," kata Jennifer.

Lutut Jennifer terluka cukup parah karena terjatuh dan dokter yang menolongnya berkata berbahaya jika ia memaksakan diri untuk berlari. Namun, ia tak punya pilihan lain.

"Tembakan dari senapan mesin terus terjadi dan sepertinya semakin keras dan dekat. Aku yakin ada beberapa laki-laki dengan senjata di belakangku. Aku merasa seperti target dalam sebuah video game. Aku mengira akan ada peluru menembus punggungku," ujarnya.

Bagi Jennifer, ada yang salah dengan kebijakan pembelian senjata untuk warga sipil.

Default Image IDN

Begitu ia cukup yakin sudah berada dalam situasi aman di dalam hotel, Jennifer menonton berita di TV untuk mengetahui apa yang terjadi. Teman-teman Jennifer, walau tak datang saat bersamaan, akhirnya kembali ke hotel.

"Kekhawatiranku saat itu adalah mencari keamanan dan terus mengabari keluarga dan teman-temanku. Aku takut aku akan tertembak, tapi tak berpikir aku akan mati," ungkapnya.

Jennifer mengaku bersyukur bahwa ia masih diizinkan untuk hidup. Kejadian itu pun membuatnya bertekad melakukan sesuatu agar pemerintah memperketat kebijakan pembelian senjata untuk warga sipil.

"Tak ada alasan bahwa mendapatkan sepucuk senjata harus lebih mudah dari membeli sebuah mobil, atau alasan apapun seorang warga sipil mempunyai senjata otomatis," tegasnya.

"Setelah menyaksikan sendiri kehancuran tersebut, aku berniat untuk memastikan langkah-langkah agar peristiwa itu tak terulang kembali," tambahnya.

Usai tragedi itu juga para selebritas Amerika Serikat mengunggah kutipan dari Gloria Steinem, seorang tokoh feminisme Amerika Serikat, yang langsung menjadi viral:

Default Image IDN

"Aku ingin setiap laki-laki muda yang membeli sebuah senjata diperlakukan seperti perempuan muda yang ingin aborsi. Coba pikir: kewajiban menunggu selama 48 jam, surat izin tertulis dari orangtua atau hakim, catatan medis yang membuktikan dia tahu apa yang dia akan lakukan, waktu yang harus dihabiskan untuk menonton video tentang pembunuhan massal dan individual, menempuh ratusan kilometer dengan biaya sendiri ke toko senjata terdekat, dan berjalan melalui para demonstran yang memegang foto-foto dari orang-orang yang dicintai yang terbunuh dengan senjata, para demonstran yang menjulukinya seorang pembunuh."

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rosa Folia
EditorRosa Folia
Follow Us