Pemantau Iklim Eropa: 2024 Jadi Tahun Terpanas dalam 125 Ribu Tahun

Jakarta, IDN Times - Pemantau iklim yang berbasis di Eropa, Copernicus Climate Change Service (C3S), mengatakan bahwa tahun 2024 adalah jadi tahun terpanas yang pernah tercatat.
Pada Senin (9/12/2024), mereka melaporkan bahwa gelombang panas ekstrem telah mendorong suhu global rata-rata lebih tinggi antara Januari dan November. Hal tersebut pasti akan melampaui 2023 sebagai tahun terpanas.
Pemanasan global yang kian memprihatinkan memicu cuaca ekstrem yang lebih sering terjadi daripada sebelumnya. Selain banyak orang yang kehilangan nyawa, cuaca ekstrem juga menyebabkan kerugian ekonomi besar.
1. Periode terhangat yang dialami manusia dalam 125 ribu tahun terakhir

C3S mengatakan bahwa 2024 menjadi tahun pertama yang suhunya di atas 1,5 derajat Celsius di atas tingkat praindustri. Angka tersebut merupakan ambang batas kritis untuk melindungi Bumi dari panas yang berbahaya.
Dilansir dari Al Jazeera, badan Uni Eropa tersebut menggunakan miliaran pengukuran dari satelit, kapal, pesawat terbang, dan stasiun cuaca untuk membantu perhitungan iklim.
Para ilmuwan menyebut bahwa periode yang saat ini dialami manusia kemungkinan merupakan periode terhangat yang pernah dialami planet ini selama 125 ribu tahun terakhir. November lalu jadi bulan terpanas kedua setelah November 2023.
2. Butuh tindakan iklim yang lebih ambisius
Hingga November 2024 ini, para ilmuwan mengatakan bahwa suhu rata-rata diperkirakan akan mencapai 1,60 derajat Celsius di atas tingkat praindustri. Suhu tersebut melampaui rekor pada 2023, yakni sebesar 1,48 derajat Celsius.
"Ini tidak berarti bahwa perjanjian Paris telah dilanggar, tetapi ini berarti tindakan iklim yang ambisius lebih mendesak dari sebelumnya," kata Samantha Burgess, wakil direktur C3S, dikutip The Guardian.
Perjanjian Paris adalah perjanjian iklim yang mengikat 196 negara, untuk menjaga pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celsius. Tapi ini diukur dalam waktu satu atau dua dekade bukan satu tahun.
Meski begitu, kecil kemungkinan untuk bisa tetap berada di bawah ambang batas 1,5 derajat Celsius. Ini karena emisi karbondioksida diperkirakan akan terus meningkat meski ada janji global untuk beralih dari bahan bakar fosil.
3. Kerugian akibat bencana alam pada 2024 mencapai Rp4.667 triliun

Dalam konferensi iklim PBB COP29 bulan lalu di Baku, Azerbaijan, laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) memperingatkan bahwa dunia sedang mengalami pemanasan global yang sangat tinggi. Suhu telah meningkat sebesar 1,3 derajat Celsius dibanding suhu rata-rata pra-industri.
Dilansir RTE, para ilmuwan mengatakan bahwa pemanasan global ini membuat cuaca ekstrem lebih sering terjadi dan bahkan lebih dahsyat.
Pada 2024, serangkaian bencana alam terjadi seperti banjir mematikan di Spanyol dan Kenya, badai dahsyat di Amerika Serikat (AS) dan Filipina, serta kekeringan dan kebakaran hutan parah di Amerika Selatan.
Raksasa asuransi Swiss Re mengatakan bahwa bencana tersebut secara total menyebabkan kerugian ekonomi sebesar 294 miliar dolar (Rp4.667 triliun) pada 2024.
"Kerugian kemungkinan akan meningkat karena perubahan iklim memperparah kejadian cuaca ekstrem, sementara nilai aset meningkat di area berisiko tinggi akibat perluasan wilayah perkotaan," kata Swiss Re.