Pengepungan Kota El-Fasher oleh RSF Tewaskan 782 Warga Sudan

- Kantor HAM PBB melaporkan 782 warga sipil tewas dan 1.143 terluka di El-Fasher, Sudan Utara sejak Mei 2024.
- RSF dan militer Sudan terlibat pertempuran tanpa henti, memicu pembalasan etnis dan serangan ke fasilitas kesehatan serta kamp pengungsi.
- Konflik berkepanjangan telah memaksa lebih dari 12 juta orang mengungsi dan menyulitkan distribusi bantuan kemanusiaan oleh lembaga PBB.
Jakarta, IDN Times - Kantor Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) melaporkan sedikitnya 782 warga sipil tewas dan 1.143 orang terluka di El-Fasher, Sudan Utara, sejak Mei 2024. Kematian ini terjadi akibat pengepungan paramiliter Pasukan Pendukung Cepat (RSF) yang telah berlangsung selama tujuh bulan.
Komisaris Tinggi HAM PBB, Volker Turk, menyatakan pengepungan dan pertempuran tanpa henti ini telah memakan korban jiwa dalam skala besar setiap harinya. Serangan terhadap warga sipil di wilayah tersebut berpotensi dikategorikan sebagai kejahatan perang, dilansir UN News pada Sabtu (21/12/2024).
Dilansir Reuters, El-Fasher menjadi salah satu garis depan pertempuran paling aktif antara RSF dan militer Sudan. Para pengamat mengkhawatirkan kemenangan RSF dapat memicu pembalasan etnis seperti yang terjadi di Darfur Barat tahun lalu.
Serangan udara dan penembakan artileri terus terjadi di kawasan pemukiman padat penduduk. RSF dan angkatan bersenjata Sudan saling menyalahkan atas jatuhnya korban jiwa dari kalangan warga sipil.
1. RSF dan militer Sudan saling serang fasilitas umum
RSF melancarkan serangan ke rumah sakit utama El-Fasher pekan lalu. Serangan ini menewaskan sembilan orang dan melukai 20 warga sipil lainnya. Penyerangan terhadap fasilitas kesehatan memang marak terjadi selama konflik.
Rumah Sakit Bersalin Al-Saudi sebagai satu-satunya rumah sakit umum yang masih beroperasi di El-Fasher menjadi sasaran serangan berkali-kali. Fasilitas kesehatan ini merupakan pusat layanan bedah dan kesehatan reproduksi terakhir yang tersisa di wilayah tersebut.
Pusat Medis Tumbasi juga tidak luput dari serangan pada Agustus lalu. Penyerangan ini mengakibatkan 23 orang tewas dan 60 orang mengalami luka-luka. Serangan drone RSF juga menewaskan 38 orang di pusat kota pada hari Minggu.
"Situasi mengkhawatirkan ini tidak bisa terus berlanjut. RSF harus menghentikan pengepungan mengerikan ini," kata Turk, dilansir Al Jazeera.
2. Ratusan ribu pengungsi terancam kelaparan di kamp Zamzam
Kamp pengungsi Zamzam yang berlokasi 15 kilometer di selatan El-Fasher menjadi tempat pengungsian bagi lebih dari 500 ribu orang. Para pengungsi di kamp ini kini menghadapi ancaman kelaparan parah.
Serangan artileri RSF ke kamp Zamzam dalam dua pekan terakhir memaksa ribuan pengungsi meninggalkan tempat tersebut. RSF telah melancarkan enam serangan ke kamp pengungsi ini dan menewaskan sedikitnya 15 warga sipil.
OHCHR memperingatkan serangan berskala besar ke kamp Zamzam dan kota El-Fasher akan memperburuk penderitaan warga sipil ke tingkat yang berbahaya. Komunitas internasional diminta membantu upaya negosiasi untuk meredam konflik.
Konflik berkepanjangan antara RSF dan militer Sudan telah berlangsung lebih dari 18 bulan. Pertikaian ini memaksa lebih dari 12 juta orang mengungsi dan menyulitkan lembaga PBB mendistribusikan bantuan kemanusiaan.
3. Pekerja bantuan kemanusiaan jadi target serangan
Kantor lapangan Program Pangan Dunia (WFP) turut menjadi sasaran pemboman udara. Tiga staf Program WFP tewas dalam serangan udara di Yarbus, Negara Bagian Blue Nile pada Kamis (19/12/2024).
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengecam penyerangan terhadap personel dan fasilitas PBB. Ia mendesak dilakukan penyelidikan menyeluruh atas peristiwa ini.
Tahun 2024 tercatat sebagai tahun paling mematikan bagi pekerja bantuan kemanusiaan di Sudan. Namun, para pekerja bantuan tetap berupaya memberikan dukungan vital meski nyawa mereka terancam.
"Setiap nyawa yang hilang dalam tugas kemanusiaan merupakan hal yang tidak dapat diterima. Para pekerja kemanusiaan bukan, dan tidak boleh menjadi target," tegas Direktur Eksekutif WFP, Cindy McCain.
Koordinator Bantuan Darurat PBB, Tom Fletcher, juga menyatakan kemarahannya atas tewasnya para petugas kemanusiaan ini. Ia menuntut pertanggungjawaban dan perlindungan untuk mereka, melansir Middle East Monitor.