Pilpres AS Diwarnai Ancaman Bom, Diduga Didalangi Rusia

Jakarta, IDN Times – Pemilihan presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS), pada Selasa (5/11/2024), diwarnai dengan ancaman bom palsu yang diduga berasal dari Rusia. Informasi bom beredar di empat negara bagian tempat pertarungan sengit dua kandidat, yaitu Georgia, Michigan, Arizona, dan Wisconsin.
"Sejauh ini, tidak ada satu pun ancaman yang dapat dipastikan kredibel," kata FBI.
FBI menambahkan bahwa integritas pemilu merupakan salah satu prioritas utama biro tersebut, dilansir Reuters.
Setidaknya, dua tempat pemungutan suara yang menjadi sasaran ancaman bom palsu di Georgia dievakuasi sebentar pada Selasa.
Kedua lokasi di Fulton County tersebut dibuka kembali setelah sekitar 30 menit, kata para pejabat. Wilayah tersebut juga sedang berupaya memperpanjang jam malam melewati batas waktu pukul 7 malam di seluruh negara bagian.
1. Rusia diduga jadi dalang di balik ancaman bom

Menteri Luar Negeri Georgia dari Partai Republik, Brad Raffensperger, menyalahkan campur tangan Rusia atas berita palsu tentang bom pada Hari Pemilihan .
"Mereka tampaknya berniat jahat. Mereka tidak ingin kita memiliki pemilu yang lancar, adil, dan akurat, dan jika mereka dapat membuat kita saling bertengkar, mereka dapat menganggapnya sebagai kemenangan," kata Raffensperger.
Seorang Demokrat dan Sekretaris Negara Arizona, Adrian Fontes, mengatakan empat ancaman bom palsu juga telah dikirimkan ke tempat pemungutan suara di Navajo County, Arizona.
"Vladimir Putin sedang bertingkah menyebalkan," kata Fontes.
Adapun Kedutaan Besar Rusia di Washington menyinggung tentang campur tangan Rusia dalam pilpres AS hanyalah fitnah jahat belaka.
"Kami ingin menekankan bahwa Rusia tidak pernah ikut campur dan tidak akan mencampuri urusan dalam negeri negara lain, termasuk AS. Seperti yang telah berulang kali ditegaskan oleh Presiden Vladimir Putin, kami menghormati keinginan rakyat AS," ungkap kedutaan.
2. Ancaman bom tak ganggu proses pemilihan

Seorang pejabat FBI mengatakan bahwa Georgia menerima puluhan ancaman. Sebagian besar terjadi di Fulton County, yang meliputi sebagian besar Atlanta, basis Demokrat.
Pejabat senior di kantor Raffensperger mengatakan, berita palsu tentang bom Georgia dikirim dari alamat email yang pernah digunakan oleh orang-orang Rusia yang berusaha mencampuri pemilu AS sebelumnya.
“Ancaman tersebut dikirim ke media AS dan dua lokasi pemungutan suara. Kemungkinan besar itu adalah Rusia,” kata pejabat tersebut.
Kepala Komisi Pemilihan Umum Wisconsin, Ann Jacobs, mengatakan kendati ancaman bom palsu dikirim ke dua lokasi pemungutan suara di ibu kota negara bagian Madison, tetapi hal itu tidak mengganggu jalannya pemungutan suara.
Juru bicara Jocelyn Benson, Sekretaris Negara Bagian Demokrat Michigan, mengatakan ada laporan ancaman bom di beberapa lokasi pemungutan suara. Tetapi tidak ada yang dapat dipercaya.
3. Peringatan ancaman disinformasi dari negara berkonflik

Kamala Harris dan Donald Trump terlibat dalam persaingan ketat untuk memenangkan kursi di Gedung Putih. Jajak pendapat menunjukkan persaingan ini terlalu ketat untuk diprediksi.
Ancaman bom palsu tersebut menandai kejadian terbaru dari serangkaian contoh dugaan campur tangan Rusia dalam pemilu 2024.
Sehari sebelum hari pemilihan, pejabat tinggi AS juga memperingatkan terkait operasi disinformasi yang dilakukan oleh negara-negara berkonflik dalam pemilihan.
“Rusia adalah ancaman paling aktif,” kata Kantor Direktur Intelijen Nasional (ODNI), FBI, dan Badan Keamanan Siber dan Infrastruktur pada Senin, dilansir dari The Guardian.
Pada 1 November, pejabat intelijen AS memperingatkan bahwa Rusia membuat video palsu yang menggambarkan warga Haiti memberikan suara secara ilegal di Georgia. Pejabat intelijen juga menemukan bahwa Rusia membuat video palsu terpisah dengan menuduh seseorang yang terkait dengan pasangan calon presiden Harris menerima suap dari seorang penghibur.
Pejabat intelijen AS juga menuduh Rusia ikut campur dalam pemilihan presiden AS sebelumnya, khususnya pemilihan tahun 2016 di mana Trump dimenangkan melawan kandidat Demokrat Hillary Clinton.