Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

RUU Kontroversial Israel Ancam Pecat Akademisi yang Pro-Teroris 

Ilustrasi bendera Israel. (unsplash.com/Taylor Brandon)
Ilustrasi bendera Israel. (unsplash.com/Taylor Brandon)

Jakarta, IDN Times - Rancangan Undang-Undang (RUU) kontroversial di Israel memicu kekhawatiran serius di kalangan akademisi dan politisi. RUU yang sedang dibahas di parlemen Israel (Knesset) ini akan memberi wewenang kepada komite yang ditunjuk pemerintah untuk memecat staf akademik yang dianggap mendukung teroris.

Kritikus mengecam RUU ini sebagai bentuk McCarthyisme dan tidak demokratis karena dianggap membatasi kebebasan berbicara dan memungkinkan politisi menyalahgunakan tuduhan untuk kepentingan politik.

Istilah McCarthyisme merujuk pada praktik membuat tuduhan tidak berdasar dan melakukan penyelidikan yang tidak adil. Ini terinspirasi dari taktik Senator AS Joseph McCarthy pada era 1950-an yang menuduh orang-orang sebagai komunis tanpa bukti yang kuat.

Meskipun menuai banyak kritik, RUU ini telah melewati satu dari empat pemungutan suara yang diperlukan di Knesset.

1. Pro dan kontra terhadap RUU

Menteri Pendidikan Israel, Yoav Kisch, dan Serikat Mahasiswa Nasional memberikan dukungan kuat terhadap RUU ini.

"Penting bagi lembaga akademik untuk memiliki independensi yang besar, tetapi ada batasan yang tidak boleh dilewati," bela Kisch.

Serikat Mahasiswa Nasional bahkan menghabiskan lebih dari 500 ribu shekel (sekitar Rp2,2 miliar) untuk kampanye billboard mendukung RUU ini. Elchanan Felhimer, ketua Serikat Mahasiswa Nasional Israel, membela RUU tersebut dengan keras. Ia menganggap para kritikus RUU ini ketakutan dan ketinggalan zaman.

"Para pimpinan universitas perlu memahami beratnya tanggung jawab mereka. Kita seharusnya tidak lagi termotivasi oleh ketakutan tentang apa yang akan dipikirkan dunia, apa yang akan dikatakan dunia," kata Felhimer, dilansir dari The Guardian, Senin (22/7/2024).

Di sisi lain, kepala universitas terkemuka mengecam keras RUU ini. Uri Sivan, presiden Institut Teknologi Israel (Technion), menyebutnya sebagai bentuk McCarthyisme yang sangat keras.

"Ini dimaksudkan untuk mengancam orang agar tidak mengungkapkan pikiran mereka, dalam sistem yang seharusnya bebas dari intimidasi,"  kecam Sivan.

2. Implikasi serius terhadap kebebasan akademik

RUU ini mengancam akan memotong pendanaan universitas yang menolak memecat staf akademik yang dianggap mendukung teror. Ancaman ini dianggap sangat berbahaya bagi kebebasan akademik dan independensi universitas.

Yair Lapid, pemimpin oposisi, memperingatkan bahwa RUU ini akan mengikis demokrasi.

"Menurut RUU ini, orang yang memutuskan apa artinya berbicara melawan negara Israel adalah Yoav Kisch. Bukan polisi dan bukan pengadilan," ujar Lapid di depan Knesset.

Anat Matar dari Universitas Tel Aviv bahkan menyebut dukungan mahasiswa terhadap RUU ini sebagai langkah menuju fasisme.

"Terlepas dari apakah RUU ini lolos atau tidak, kerusakan signifikan telah terjadi," ujar Matar. 

3. Kritik terhadap kebijakan perang akan semakin dibatasi

Melansir dari Arab News, Asosiasi Kepala Universitas Israel (Vera) memperingatkan bahwa RUU ini dapat memicu sanksi internasional terhadap universitas Israel. Mereka khawatir RUU ini akan merusak reputasi dan independensi akademik universitas Israel di mata dunia.

Kekhawatiran ini memperparah keadaan saat ini, di mana kritik terhadap kebijakan pemerintah, terutama terkait perang di Gaza, sudah sangat dibatasi. Sebelumnya, seorang guru pernah ditahan atas tuduhan pengkhianatan setelah mengunggah keprihatinan tentang kematian warga sipil di Gaza.

Kasus serupa juga menimpa Nadera Shalhoub-Kevorkian, seorang akademisi hukum terkemuka, yang ditahan menggunakan undang-undang anti-terorisme karena mengkritik perang. 

Ofir Katz, anggota partai Likud yang berkuasa dan penggagas RUU ini, membantah bahwa undang-undang tersebut akan membatasi debat akademik. Ketika ditanya apakah undang-undang yang ada tentang hasutan tidak cukup, Katz menyatakan bahwa Israel membutuhkan kontrol tambahan terhadap wacana di platform publik.

"Aspek kriminal adalah masalah terpisah. Kebebasan berekspresi bukanlah kebebasan untuk menghasut terorisme," kata Katz. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Leo Manik
EditorLeo Manik
Follow Us