Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Sistem Kesehatan di Gaza Kritis akibat Terhambatnya Bantuan Medis

protes solidaritas terhadap Palestina (unsplash.com/Iason Raissis)
protes solidaritas terhadap Palestina (unsplash.com/Iason Raissis)

Jakarta, IDN Times - Sistem kesehatan Gaza telah berada di bawah tekanan besar karena kekurangan pasokan penting, seperti bahan bakar dan obat-obatan. Distribusi bantuan di wilayah yang dilanda konflik itu terhambat sejak penutupan penyeberangan Rafah sebulan lalu.

Dilansir The New Arab, ratusan truk berisi bantuan dengan tujuan Gaza terlihat di Sinai selama seminggu terakhir. Namun, truk-truk tersebut tidak dapat melintasi Rafah setelah Mesir menolak bekerja sama dengan pasukan Israel yang menduduki wilayah perbatasan.

LSM independen Mesir, Sinai Foundation for Human Rights, membagikan video yang menunjukkan ratusan truk terparkir di sepanjang jalan raya dekat Bandara Internasional Al-Arish. Mereka mengatakan bahwa pihaknya telah memantau penumpukan truk di sekitar bandara, jalan pesisir, sekitar pelabuhan dan dekat kota Al-Arish.

1. Ribuan pasien kritis tidak dapat keluar dari Gaza untuk mendapatkan perawatan

Perbatasan Rafah, yang berfungsi sebagai satu-satunya titik keluar bagi pejalan kaki di Gaza, direbut oleh pasukan Israel pada 7 Mei. Tindakan tersebut membuat marah Mesir, yang melihatnya sebagai ancaman terhadap stabilitas wilayah Sinai utara yang rapuh. Sejak itu, Kairo menolak berkoordinasi dengan pasukan Israel di perbatasan.

Penutupan penyeberangan ini juga menghalangi sekitar 2.500 pasien yang berada dalam kondisi kritis untuk pergi menerima perawatan. LSM Medical Aid for Palestines (MAP) mengatakan bahwa sejak 12 Mei, tidak ada pasien yang dapat keluar dari Gaza untuk mendapatkan perawatan medis.

Sementara itu, Rumah Sakit Martir Al-Aqsa di Deir al-Balah telah dibanjiri oleh pasien yang terluka dalam beberapa hari terakhir. Situasi ini terjadi setelah serangan Israel beralih ke daerah-daerah di Gaza tengah, termasuk kamp pengungsi Nuseriat, Al-Mugahzi dan Bureij di dekatnya.

Juru bicara Kementerian Kesehatan di Gaza mengatakan bahwa rumah sakit tersebut saat ini hanya beroperasi dengan satu generator listrik, sehingga layanannya terancam bisa terhenti sewaktu-waktu.

2. Staf rumah sakit Al-Aqsa minta komunitas internasional turun tangan

Direktur MAP di Gaza, Fikr Shalltoot, mengatakan bahwa staf di rumah sakit Al-Aqsa meminta komunitas internasional untuk turun tangan dan menyelamatkan orang-orang dari kematian yang pasti.

“Serangan terhadap pengungsi Palestina meningkat setiap hari dan rumah sakit di Gaza berada di ambang kehancuran. Di Rumah Sakit Al-Aqsa tidak tersedia cukup ruang operasi, tempat tidur atau peralatan untuk menangani masuknya pasien,” kata Shalltoot.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rumah sakit ini merupakan salah satu dari 14 rumah sakit yang berfungsi sebagian di seluruh Gaza. Fasilitas kesehatan tersebut menerima ratusan korban luka dalam beberapa hari terakhir setelah dimulainya kembali kampanye militer Israel di Gaza tengah.

WHO mengatakan bahwa saat ini tidak ada rumah sakit yang beroperasi di Rafah atau di wilayah utara. Hal ini menyebabkan sekitar setengah juta orang tidak memiliki akses ke layanan kesehatan.

3. Kelompok bantuan MSF kerja sama dengan pihak rumah sakit untuk bantu korban luka

Dilansir Al Jazeera, Badan amal Doctors Without Borders (MSF) mengatakan bahwa timnya bekerja bersama dengan staf medis di rumah sakit Al-Aqsa dan Nasser untuk merawat pasien yang terluka parah, menyusul pemboman Israel pagi ini di wilayah tengah Gaza.

Menurut laporan Kantor Media Pemerintah Gaza, sebanyak 210 warga Palestina tewas dalam serangan Israel di kamp pengungsi Nuseirat pada Sabtu (8/6/2024).

“Ini adalah mimpi buruk di Al-Aqsa. Telah terjadi banyak korban jiwa secara berturut-turut ketika daerah padat penduduk dibom. Ini jauh melampaui apa yang bisa ditangani oleh rumah sakit yang berfungsi, apalagi dengan sumber daya yang terbatas yang kita miliki di sini,” kata Samuel Johann, koordinator MSF di Gaza.

“Berapa banyak lagi laki-laki, perempuan dan anak-anak yang harus dibunuh sebelum para pemimpin dunia memutuskan untuk mengakhiri pembantaian ini?” tambahnya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Vanny El Rahman
EditorVanny El Rahman
Follow Us