UNICEF: Korban Ranjau Darat di Myanmar sampai 1.052 Orang pada 2023

Jakarta, IDN Times - Badan PBB untuk Anak-anak (UNICEF), pada Rabu (3/4/2024), mengungkapkan peningkatan yang mengkhawatirkan dalam jumlah korban sipil di Myanmar, termasuk anak-anak, yang terbunuh atau cacat akibat ranjau darat dan alat peledak lainnya pada tahun lalu.
Ketika konflik yang berkecamuk di negara itu meluas dalam beberapa bulan terakhir, hampir seluruh negara bagian dan wilayah di Myanmar dilaporkan telah terkontaminasi ranjau darat, kecuali di ibu kota Naypyitaw.
"Terdapat 1.052 korban sipil terverifikasi akibat insiden ranjau darat dan bahan peledak selama 2023, yang mana hampir tiga kali lipat dari 390 insiden yang tercatat pada 2022. Lebih dari 20 persen korbannya adalah anak-anak," demikian laporan dari UNICEF.
Dilaporkan, jumlah tersebut termasuk 188 orang tewas dan 864 orang terluka.
1. Penggunaan ranjau darat di Myanmar adalah pelanggaran internasional
Di Myanmar, ranjau darat digunakan tanpa pandang bulu oleh semua pihak dalam konflik yang semakin intensif, yang telah menyebabkan lebih dari 2,8 juta orang mengungsi dan lebih dari 18 juta orang sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Direktur Regional UNICEF untuk Asia Timur dan Pasifik, Debora Comini, memperingatkan Myanmar bahwa penggunaan ranjau darat tidak hanya tercela, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hukum kemanusian internasional.
"Sangatlah penting bagi semua pihak yang berkonflik untuk memprioritaskan keselamatan dan kesejahteraan warga sipil, terutama anak-anak, dan segera mengambil langkah untuk menghentikan penggunaan senjata yang tidak pandang bulu ini," ungkapnya.
2. Myanmar adalah salah satu negara yang paling banyak memiliki ranjau darat di dunia
Sejak militer merebut kekuasaan dari pemerintahan terpilih dalam kudeta yang dilancarkan pada 2021, negara tersebut berada dalam kekacauan. Konflik tersebut juga mengakhiri langkah tentatif menuju demokrasi dan mengubah Myanmar menjadi salah satu negara yang paling banyak terkontaminasi ranjau darat dan bahan peledak di dunia.
Selama beberapa tahun terakhir, perlawanan sipil bersenjata telah bergabung dengan kelompok-kelompok etnis bersenjata yang telah lama ada untuk melawan militer.
Akibatnya, kepemimpinan junta berada di bawah tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini menyusul kekalahan di medan perang dalam serangan besar-besaran oleh kelompok pemberontak yang dimulai pada Oktober lalu, Reuters melaporkan.
3. Dibutuhkan Rp3,3 triliun untuk membantu korban terdampak konflik Myanmar

Pada 2023, UNICEF menjangkau 138.855 orang, termasuk anak-anak, di seluruh Myanmar dengan intervensi pencegahan ranjau darat atau senjata peledak lainnya, serta bantuan bagi mereka yang selamat.
Di tahun ini, UNICEF mengajukan dana sebesar 208,3 juta dolar AS (sekitar Rp3,3 triliun) guna memberikan bantuan penyelamatan jiwa dan layanan penting kepada 3,1 juta anak dan keluarga yang paling terdampak oleh krisis yang sedang berlangsung di Myanmar.