Usai Deportasi Ribuan Warga Palestina, Israel Bidik Pekerja dari India

Jakarta, IDN Times - Industri konstruksi Israel berada dalam kondisi koma setelah mendeportasi ribuan pekerja Palestina dan mecabut izin kerja mereka. Aksi itu dilakukan setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.
Untuk menghidupkan kembali industri tersebut, Tel Aviv berupaya merekrut para pekerja asing baru dan beralih ke pekerja India dan Sri Lanka. Pihaknya sedang mencari pekerja untuk berbagai posisi, seperti pekerjaan plesteran, ubin keramik, bekisting bangunan hingga pembengkokan besi.
Menurut Asosiasi Pembangunan Israel (IBA), industri kontruksi adalah salah satu sektor ekonomi terbesar di negara itu. Pada 2022, pasar dari sektor tersebut bernilai 71 miliar dolar AS (sekitar Rp1 kuadriliun), namun kini hanya beroperasi sekitar 15 persen dari kapasitas sebelum perang.
"Tujuannya adalah membawa 10 ribu pekerja dengan cepat ke Israel karena waktu hampir habis dan kita sudah berada dalam masalah keuangan yang sangat besar," kata Shay Pauzner, wakil direktur jenderal IBA, dikutip dari The Straits Times pada Sabtu (23/12/2023).
1. Ribuan pekerja asing akan tiba di Israel dalam waktu dekat
Pauzner menambahkan, industri konstruksi membutuhkan sekitar 100 ribu pekerja untuk kembali ke kapasitas sebelum perang. Menurutnya, situasi saat ini sangat buruk, di mana sekitar 75 persen lokasi pembangunan berjalan sangat lambat dan sekitar 40-50 persen di antaranya tidak ada pekerjaan sama sekali, jika ada itu pun hanya sedikit.
Pada 19 Desember, Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi dan PM Israel Benjamin Netanyahu membahas perihal kedatangan pekerja asing dari negara Asia Selatan tersebut ke Israel.
Kedua negara menandatangani perjanjian pada Mei untuk mengizinkan 42 ribu pekerja India bekerja di Israel. Saat itu, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Israel menyatakan bahwa 34 ribu pekerja akan dipekerjakan di bidang konstruksi dan 8 ribu lainnya untuk kebutuhan perawatan.
Sekitar 20 ribu warga India diyakini telah bekerja di Israel dan banyak di antaranya sebagai perawat lansia. Bahkan, di tengah perang yang berkecamuk saat ini, mereka tetap berada di Israel menerima risiko keamanan dengan imbalan remunerasi yang menarik dan tunjangan lainnya. Beberapa dari tawaran itu tidak tersedia di negara lain.
"Sebagian besar perawat di Israel hanya diharuskan merawat satu orang dan gajinya bagus. Sekarang sektor konstruksi dan perhotelan sudah dibuka. Israel adalah tempat yang aman. Iron Dome telah mencegat ribuan roket dari Gaza, sehingga semua orang punya kesadaran keamanan," ungkap Solomon Mylakkadu, pengasuh asal India yang telah bekerja di Tel Aviv selama 16 tahun, dilansir Deutsche Welle.
2. Pengiriman tenaga kerja India ke Israel mendapat penentangan

Meski kedua negara sepakat soal perekrutan tenaga kerja, namun langkah pengiriman pekerja India ke Israel mendapat hambatan. Sebab, ada kekhawatiran atas keselamatan mereka serta dampaknya terhadap pekerja Palestina yang mereka gantikan.
New Delhi telah mengeluarkan imbauan kepada warga India di Israel untuk tetap waspada dan mematuhi protokol keselamatan, namun pihaknya tidak melarang mempekerjakan warganya ke Israel.
Federasi Pekerja Konstruksi India (CWFI), yang berafiliasi dengan salah satu serikat pekerja terbesar di India, menentang perekrutan pekerja India.
"Ini adalah taktik jahat guna mengeksploitasi pekerja konstruksi miskin di negara kami untuk dikirim ke Israel dengan menawarkan gaji yang menguntungkan dengan mengorbankan kematian, kelaparan, dan hilangnya pendapatan sesama pekerja Palestina," kata CWFI.
Secara terpisah, kelompok hak asasi manusia Inggris FairSquare juga mendesak India tidak mengirim warganya ke Israel untuk mengganti pekerja Palestina yang dideportasi. Menurutnya, hal itu akan menjadi 'lampu hijau bagi kejahatan perang'.
3. Israel bergantung pada pekerja asing

Sektor kontruksi dan pertanian Israel sangat bergantung pada pekerja asing, ini termasuk warga Palestina. Ada sekitar 150 ribu warga Palestina dari Tepi Barat dan 17 ribu warga dari Jalur Gaza yang memiliki izin memasuki Israel secara legal untuk bekerja.
Sementara itu, ada sekitar 82 ribu warga Palestina yang bekerja di industri kontruksi sebelum serangan terjadi. Jumlah tersebut merupakan sepertiga dari angkatan kerja di sektor itu.
Tanpa pekerja dari Palestina, maupun 2 ribu pekerja lainnya dari China dan Eropa Timur yang kembali ke negara mereka setelah perang meletus, lokasi konstruksi di seluruh Israel menjadi sepi. Hal ini pun berdampak signifikan terhadap perekonomian Negara Yahudi tersebut.
Israel harus menghadapi kekurangan tenaga kerja dengan mobilisasi ratusan ribu tentara cadangannya untuk perang melawan Hamas.
Baru-baru ini, The Times of Israel melaporkan, bahwa pihak berwenang mengumumkan kedatangan lebih dari 12 ribu pekerja asing baru dan veteran. Itu mencakup lebih dari 1.000 pekerja Thailand dan 100 pekerja Sri Lanka di sektor pertanian.
Colombo dan Tel Aviv membuat perjanjian pada bulan lalu, untuk mengizinkan perekrutan segera 10 ribu pekerja pertanian Sri Lanka.