Apakah Intermittent Fasting Bisa Bikin Otak 'Lemot'?

- Kajian terhadap 71 studi menemukan puasa singkat (8–24 jam) tidak menurunkan fungsi kognitif orang dewasa.
- Anak-anak dan remaja justru menunjukkan penurunan fokus saat berpuasa.
- Otak manusia terbukti tahan terhadap rasa lapar jangka pendek, tetapi perlu kehati-hatian pada kelompok rentan.
Selama ini, puasa intermiten atau intermittent fasting dikenal karena manfaatnya bagi kesehatan tubuh, dari menjaga berat badan hingga menurunkan risiko penyakit metabolik. Namun, masih banyak yang bertanya-tanya, apakah puasa juga bisa membuat otak “lemot”?
Sebuah tinjauan global terhadap 71 studi memberi jawaban menenangkan. Penelitian ini menemukan tidak ada perbedaan signifikan pada kemampuan kognitif orang dewasa yang berpuasa antara 8 hingga 24 jam.
“Orang sering khawatir bahwa jika mereka berpuasa, mereka tidak akan bisa berkonsentrasi di tempat kerja atau belajar dengan efektif,” kata Dr. David Moreau, ahli saraf dari Universitas Auckland, yang memimpin penelitian tersebut, dikutip dari EurekAlert!
“Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa, bagi sebagian besar orang dewasa, puasa jangka pendek tidak mungkin memberikan dampak besar terhadap ketajaman mental.”
Dengan kata lain, sebagian besar orang dewasa tetap bisa berpikir jernih dan fokus meski belum makan seharian.
Anak dan remaja lebih rentan kehilangan fokus
Meski hasilnya cukup meyakinkan bagi orang dewasa, tetapi studi ini menemukan efek berbeda pada anak dan remaja. Mereka cenderung tampil lebih buruk dalam tes kognitif saat berpuasa, menegaskan pentingnya sarapan bergizi sebelum beraktivitas.
“Anak-anak dan remaja tampaknya lebih rentan terhadap efek kekurangan energi, sesuai dengan kebutuhan energi mereka yang tinggi,” kata Moreau.
Hal ini sejalan dengan temuan sebelumnya bahwa otak anak-anak membutuhkan suplai glukosa yang stabil untuk menunjang konsentrasi dan kemampuan belajar.
Temuan lainnya: otak manusia tahan lapar

Penelitian juga menemukan beberapa detail menarik.
Peserta yang puasa cenderung menurun performanya pada sore hari, ketika tubuh memang sedang mengalami penurunan ritme sirkadian alami.
Selain itu, tugas yang berhubungan dengan makanan, seperti menilai porsi atau melihat gambar makanan, lebih sulit diselesaikan, kemungkinan karena otak terdistraksi oleh rasa lapar.
“Tampaknya otak cukup tangguh dalam menghadapi kekurangan makanan sementara,” ujar Moreau.
“Manusia berevolusi dengan periode kekurangan makanan, sehingga masuk akal jika sistem kognitif kita tetap dapat berfungsi dengan baik tanpa harus terus-menerus diberi asupan.”
Dalam banyak penelitian yang ditinjau, rata-rata durasi puasa adalah 12 jam, dan hanya sedikit yang melebihi 24 jam. Artinya, efek positif ini berlaku untuk puasa jangka pendek, bukan yang ekstrem.
Meski begitu, Moreau tetap mengingatkan agar tidak semua orang meniru pola ini tanpa pertimbangan medis.
“Hasil ini tidak berarti bahwa puasa sepenuhnya bebas risiko bagi semua orang. Individu dengan kondisi kesehatan tertentu, anak-anak, serta mereka yang berpuasa dalam jangka waktu lama masih dapat mengalami efek negatif,” ujarnya.
“Tinjauan kami menekankan perlunya pertimbangan yang cermat bagi kelompok-kelompok ini.”


















