Angka Golput Tinggi, DPR Curiga Imbas Pilkada Digelar Dekat Pemilu

- Tingginya angka golput di Pilkada DKI Jakarta 2024 mencapai 46,95 persen dari total pemilih.
- Komisi II DPR RI mencermati anomali partisipasi masyarakat dan rendahnya kandidasi dalam Pilkada Serentak 2024.
- Menyoroti praktik politik uang, potensi kecurangan, dan perlunya revisi UU pemilu menjadi fokus utama Komisi II DPR RI.
Jakarta, IDN Times - Ketua Komisi II DPR RI Muhammad Rifqinizamy Karsayuda menyampaikan, tingginya angka golput hampir terjadi di semua tingkatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024.
Di Pilkada DKI Jakarta 2024, partisipasi pemilihnya hanya mencapai 4.357.512. Padahal, jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) mencapai 8.214.007. Artinya, partisipasi pemilih di Ibu Kota berada di angka 53,05 persen, sementara yang golput mencapai 46,95 persen.
Menyikapi fenomena ini, Rifqi menyampaikan, Komisi II DPR tengah mencermati apakah pelaksanaan Pilkada 2024 yang digelar secara serentak ini justru menimbulkan anomali terhadap angka golput.
"Komisi 2 DPR ini sedang mencermati apakah dengan keserentakan pemilihan yang kita lakukan justru menimbulkan anomali terhadap partisipasi masyarakat," kata Rifqi saat dihubungi IDN Times, Jumat (29/11/2024).
Selain itu, Komisi II DPR RI juga menyoroti apakah tingginya angka golput ini ditengarai pendeknya waktu pelaksanaan pilkada dengan pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden pada Februari 2024.
"Atau misalnya dekatnya jadwal pileg, pilpres dengan pilkada itu juga membuat dorongan partisipasi pemilih menjadi rendah," kata dia.
1. Curigai tingginya angka golput karena terbatasnya kandidat

Di samping itu, Rifqi menambahkan, Komisi II DPR RI juga menyoroti tingginya angka golput ini karena rendahnya kandidasi dalam Pilkada Serentak 2024.
Hal ini menyusul adanya aturan KPU, yang mengatur para politikus yang telah menjadi anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dan mau maju dalam Pilkada 2024, harus mundur sebelum pendaftaran.
"Hal-hal seperti ini membuat kontestasi terbatas dalam konteks para kandidat dan bisa jadi kalau kita melakukan riset mendalam berpengaruh terhadap dukungan publik dalam konteks pilkada," tutur dia.
2. Sanksi politik uang harus sentuh kandidat

Rifqi turut menyoroti terkait praktik politik uang dalam pemilihan umum. Menurut dia, sanksi politik uang itu harus dirumuskan ulang agar bisa menyentuh juga terhadap para kandidat yang melakukan praktik uang.
Dia mengatakan, selama ini norma terkait politik uang hanya bisa menyentuh siapa yang memberi di lapangan dan siapa yang menerima tanpa berimplikasi terhadap pasangan calon yang didukung.
"Sanksi terhadap money politic memang harus dirumuskan ulang terkait bagaiman pembuktian money politic itu bisa dengan mudah menyentuh kandidat dan memberikan sanksi kepada kandidat," kata dia.
3. Revisi UU Pemilu lewat omnibus law sangat penting

Terakhir, ia menambahkan, Komisi II DPR juga menyoroti potensi kecurangan karena adanya selisih perolehan suara yang sangat tipis antara satu kandidat dengan kandidat lain di Pilkada 2024. Ia mengatakan, sirekap dan rekap manual terkadang menjadi ruang negosiasi antara kandidat dengan penyelenggara pemilu.
Karena itu momentum revisi terhadap UU pemilu termasuk revisi UU Pilkada yang rencananya akan dibuat dalam bentuk omnibus law politik menjadi sangat penting.