Bagaimana Perang Berdampak pada Kesehatan Mental Perempuan

- 68% perempuan alami kesehatan mental buruk akibat perang di Afghanistan
- Taliban merampas hak dan harga diri perempuan, hancurkan otonomi dan kepemimpinan perempuan
- Perempuan Gaza menghadapi trauma, depresi, dan kecemasan tinggi akibat pengepungan dan kekerasan
Jakarta, IDN Times - Laporan teranyar UN Women mengungkapkan enam puluh delapan persen perempuan kondisi kesehatan mentalnya dalam kondisi “buruk” atau “sangat buruk.” Sementara, delapan persen disebut sudah mencoba mengakhiri hidup dalam kondisi perang di Afghanistan.
Perwakilan Negara PBB untuk Perempuan di Afghanistan, Alison Davidian, mengatakan jika embalinya Taliban merampas hak dan harga diri perempuan. Hampir empat tahun dekrit Taliban telah menghancurkan otonomi perempuan dan anak perempuan.
Laporan itu menyebut jika perempuan telah terhapus dari kehidupan publik, tidak ada perempuan dalam posisi kepemimpinan, dan 98 persen perempuan mengatakan bahwa mereka memiliki pengaruh yang terbatas, atau tidak sama sekali terhadap keputusan di komunitas mereka.
"Tiga tahun lalu, seorang perempuan Afghanistan secara teknis dapat memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Sekarang, dia bahkan mungkin tidak dapat memutuskan kapan harus pergi dan membeli bahan makanan," kata Davidian dikutip laporan resmi UN Women, Rabu (4/2/2025).
1. Perempuan di Gaza terjebak trauma

Di Gaza hidup dalam pengepungan dan ancaman kekerasan yang terus-menerus membuat perempuan dan anak perempuan menghadapi tingkat ketakutan, trauma, dan kelelahan yang ekstrem.
Pengungsian membuat perempuan dan anak perempuan sulit mengakses air bersih, makanan, atau listrik, dan sistem perawatan kesehatan telah hancur.
Sistem sanitasi telah runtuh, dan perempuan dan anak perempuan terjebak di tempat penampungan yang penuh sesak, tanpa privasi, layanan dasar, atau keamanan.
2. Depresi hingga kecemasan di tengah terbatasnya akses pada perawatan

Data UN Women menunjukkan, sebanyak 75 persen perempuan merasakan depresi secara teratur, 62 persen tidak bisa tidur, dan 65 persen menderita mimpi buruk dan kecemasan. Namun, dengan akses terbatas ke perawatan, sebagian besar dibiarkan mengatasinya sendiri.
Perempuan tidak hanya menghadapi trauma mereka sendiri. Di waktu bersamaan, mereka juga harus berusaha merawat anak-anak mereka.
Kesehatan mental perempuan di Gaza berada di titik kritis. Perempuan hamil, ibu, dan anak perempuan sangat rentan. Beban emosional untuk menjaga keluarga tetap bertahan sangat berat.
UN menjelaskan, perang terhadap kesehatan perempuan di Gaza tak hanya bersifat fisik, namun bersifat mental hingga emosional.
3. Penggunaan antidepresan hingga lonjakan kekerasan domestik pada perempuan

Ratusan ribu warga Georgia masih mengungsi akibat konflik, dengan 40 persen tinggal di tempat tidak layak. Akibatnya, 23 persen mengalami PTSD, 10 persen depresi, dan 9 persen kecemasan, namun hanya sepertiga yang mendapat perawatan.
Studi menunjukkan peningkatan disabilitas hingga 16 persen pada perempuan dan anak terdampak konflik. Banyak yang menghadapi hambatan biaya, stigma, dan kurangnya layanan. Penggunaan antidepresan meningkat signifikan di wilayah pengungsian.
Sementara, perang di Ukraina memperburuk kondisi perempuan, dengan kekerasan berbasis gender naik 36 persen sejak 2022. Beban kerja domestik meningkat hingga 56 jam per minggu, sementara pengangguran melonjak.
Akibatnya, 42 persen perempuan berisiko depresi, dan 23 persen butuh konseling. Pengungsi perempuan juga paling terdampak, sebanyak 53 persen dari mereka mengalami depresi. Minimnya dukungan memperburuk situasi, terutama bagi kelompok marginal.
UN Women telah membantu 180.000 perempuan dan anak perempuan di Ukraina.