Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Deretan Pasal yang Dinilai Kontroversial di RUU Kesehatan

Aksi damai tolak RUU Kesehatan di Monas, Senin (8/5/2023) (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Jakarta, IDN Times - Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan akan disahkan menjadi undang-undang setelah disepakati oleh fraksi-fraksi di Komisi IX DPR. Keputusan ini diambil saat Raker Pengambilan Keputusan RUU Kesehatan yang diadakan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, pada Senin (19/6/2023).

Sebanyak lima organisasi profesi kesehatan yang terdiri dari Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Persatuan Perawat Nasional Indonesia, Ikatan Bidan Indonesia, dan Ikatan Apoteker Indonesia, memprotes pengesahan RUU tersebut. Mereka menilai, proses penyusunan legislasi itu tak jauh berbeda dengan UU Cipta Kerja.

"Banyak substansi dari pasal-pasal dalam RUU Kesehatan ini yang berpotensi munculnya banyak pelanggaran hak asasi manusia dan hak konstitusional warna negara yang sejatinya dijamin oleh konstitusi kita, namun dalam RUU Kesehatan ini diabaikan sehingga berpotensi merugikan masyarakat luas," tegas Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Moh Adib Khumaidi, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (21/5/2023).

Lalu pasal atau poin apa saja yang dinilai kontroversial?

1. Marginalisasi organisasi profesi

ilustrasi RUU Kesehatan (partisipasisehat.kemkes.go.id)

Dilansir laman IDI, terkait praktik kedokteran, setidaknya terdapat dua isu krusial dalam draf RUU Kesehatan.

Pertama, marginalisasi organisasi profesi. Berbagai pasal dalam RUU ini mengisyaratkan fenomena fragmentasi dan amputasi peran organisasi profesi.

Pasal 296 ayat 2 menyebutkan bahwa setiap jenis tenaga kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi profesi. Pasal 184 ayat 1 mengelompokkan tenaga kesehatan kedalam 12 jenis, seperti tenaga medis dan tenaga keperawatan.

Setiap jenis tenaga kesehatan ini dibagi lagi atas beberapa kelompok. Jenis tenaga medis, misalnya, terdiri atas dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis.

Ujung-ujungnya terdapat 48 kelompok tenaga kesehatan. Lalu, opsi mana yang akan berlaku, satu organisasi profesi untuk setiap jenis tenaga kesehatan (opsi pertama) atau untuk setiap kelompok tenaga kesehatan (opsi kedua). Ironisnya, kedua opsi ini memfragmentasi organisasi profesi.

2. IDI akan dihilangkan

Ketua Umum PB IDI Moh. Adib Khumaidi dan Ketua Satgas CoVID PB IDI Erlina Burhan dalam konferensi pers di Gedung Dr R Soeharto, Kamis (9/3/2023). (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Dalam RUU Kesehatan, nama organisasi IDI dan PDGI yang selama ini diakui pemerintah menghilang. Penggantinya, pemerintah berwenang menentukan organisasi profesi yang diakui bagi tiap tenaga kesehatan.

Kondisi ini dikhawatirkan memancing munculnya berbagai organisasi profesi yang kasak-kusuk minta pengakuan pemerintah.

"Seharusnya RUU dengan tegas menyebut pengakuan hanya pada satu organisasi profesi dokter, satu organisasi dokter gigi dan masing-masing satu buat tenaga kesehatan lainnya seperti perawat, bidan dan apoteker. Poli-organisasi profesi hanya akan menimbulkan konflik berkepanjangan," ujar Pengurus PB IDI dan PP IAKMI Iqbal Mochtar, yang juga Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah.

3. Menteri dan kementerian menjadi super-body yang jadi penentu semua domain kesehatan

Menkes Budi Gunadi Sadikin dalam Raker Komisi IX DPR RI dengan Pemerintah Terkait RUU Kesehatan. (youtube.com/Komisi IX DPR RI Channel)

Selain itu, RUU ini juga mencabut peran organisasi profesi. Untuk melamar praktik, seorang tenaga kesehatan hanya perlu menyertakan STR, alamat praktik, dan bukti pemenuhan kompetensi.

RUU Kesehatan membuat, menteri dan kementerian menjadi super-body yang jadi penentu semua domain kesehatan, dari hulu ke hilir. Kementerian berwenang menginisiasi, membuat, dan mengesahkan standar pendidikan, standar kompetensi dan standar pelayanan.

Pasal 235 menyebutkan bahwa standar pendidikan kesehatan disusun oleh menteri, meski dalam penyusunannya dapat melibatkan kolegium. Peran organisasi profesi dan kolegium menghilang.

Padahal dalam UU Nomor 29 Tahun 2004, standar pendidikan ditentukan bersama oleh Asosiasi Institusi Pendidikan, Kolegium, Asosiasi RS Pendidikan, Depdiknas, dan organisasi profesi.

Standar kompetensi juga ditetapkan oleh Menteri Kesehatan seperti tercantum pada Pasal 197 Ayat 3. Padahal sejatinya, kompetensi adalah domain teknis dan profesional yang ranahnya ada pada kolegium. Kolegium menentukan apakah seorang tenaga kesehatan kompeten atau tidak, bukan menteri. 

4. Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) bertanggung jawab kepada Menteri

Menkes Budi Gunadi Sadikin rapat bersama Komisi IX DPR pada Selasa (22/11/2022). (youtube.com/Komisi IX DPR RI Chanel)

Pada Pasal 239 RUU Kesehatan disebut, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) bertanggung jawab kepada menteri. Padahal sebelumnya, KKI adalah badan otonom, independen, dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. 

Penempatan menteri sebagai atasan KKI membuat lembaga penting ini menjadi kurang independen dan memiliki bargaining power yanglemah.

Menurut IDI, peran Menteri dalam RUU terlalu luas dan melintasi batas profesionalisme. Dengan peran menteri itu, RUU ini dikhawatirkan menggiring sistem kesehatan menjadi sistem centralized power

5. RUU Kesehatan nilai aborsi di usia 14 minggu

Para pendukung legalisasi aborsi menuntut diperbolehkannya tindakan aborsi secara hukum. (Twitter.com/IPPF_WHR)

Juru Bicara Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Beni Satria, mengungkapkan dokter dan tenaga kesehatan khawatir RUU Kesehatan Omnibus Law jika disahkan. Beni menilai ada sejumlah poin yang disorot dalam RUU Kesehatan Omnibus Law tersebut, salah satunya tentang aborsi.

"Di dunia kesehatan, baik dokter maupun bidan, menyatakan aborsi paling lama enam minggu, tetapi di RUU ini 14 minggu, artinya ini sudah terbentuk lengkap," ujarnya dalam aksi menolak RUU Kesehatan di Monas, Jakarta Pusat, Senin (8/5/2023).

6. Nakes rawan dikriminalisasi

Aksi damai ratusan tenaga kesehatan menolak RUU Kesehatan di Monas, Senin (8/5/2023) (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Para dokter juga khawatir terhadap ancaman kriminalisasi jika RUU Kesehatan disahkan. Pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Tenaga Kesehatan, dijelaskan bahwa prosedur kontrol dokter dan etiknya diserahkan kepada Majelis Komite Etik IDI.

IDI memiliki wewenang memberi sanksi kepada dokter yang bekerja tak sesuai kode etik. Jika IDI dibubarkan, akan timbul kerancuan terkait pusat kontrol etik dokter di Indonesia.

Dalam RUU Kesehatan atau Omnibus Law, disebut proses sidang etik dokter akan diserahkan sepenuhnya pada Kementerian Kesehatan. Dalam RUU Kesehatan, Majelis Etik juga akan dibubarkan.

Padahal, Majelis Etik IDI yang berfungsi sebagai penegak kode etik dokter sudah berjalan sejak lama. Kewenangan majelis etik itu akan digantikan Kemenkes.

7. Tenaga kerja asing untuk pemerataan layanan

Warga Negara Asing (WNA) berjalan di area kedatangan internasional setibanya di Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Senin (29/11/2021). (ANTARA FOTO/Fauzan)

Dalam RUU Kesehatan juga terdapat aturan terkait tenaga kerja warga negara asing. Tenaga kerja asing yang memiliki pengalaman lima tahun bisa melakukan pelayanan kesehatan di Indonesia.

Namun, syarat lima tahun itu dinilai tak menjadi jaminan kualitas. Sehingga, muncul kekhawatiran akan berisiko membahayakan masyarakat.

Pemerataan pelayanan kesehatan dapat dicapai dengan mengoptimalkan peran dan kemampuan dari tenaga medis/tenaga kesehatan yang ada di Indonesia. Sehingga pemanfaatan tenaga medis dan tenaga kesehatan asing lulusan luar negeri perlu dipertimbangkan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dheri Agriesta
Dini Suciatiningrum
Dheri Agriesta
EditorDheri Agriesta
Follow Us