Segitiga Emas Kampung Sawah, Bukti Toleransi di Indonesia Masih Kukuh

Kisah toleransi beragama di Hari Toleransi Internasional

Jakarta, IDN Times - Lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an di Masjid Agung Al Jauhar Yasfi mengiringi suara lonceng dari Gereja Santos Servatius. Paduan suara nan merdu tersebut menyambut siapa saja yang memasuki Kampung Sawah di kawasan Jatimurni, Pondok Melati, Bekasi, Jawa Barat, pada Minggu pagi.

Setelah tiga kali berbunyi, suara lonceng dari gereja berhenti, memberi tempat bagi Masjid Agung Al Jauhar Yasfi untuk memanggil jemaah mengikuti pengajian. Aktivitas pengajian dalam masjid tidak memengaruhi kegiatan ibadah Minggu pagi di Gereja Kristen Pasundan dan Gereja Katolik Santo Servatius.

IDN Times pun menelusuri lebih dalam kawasan yang memiliki ikon fenomenal bernama Segitiga Emas tersebut.

1. Sejarah Segitiga Emas dan keragaman umat beragama di Kampung Sawah

Segitiga Emas Kampung Sawah, Bukti Toleransi di Indonesia Masih KukuhTokoh masyarakat Katolik, R. Jacob Napiun (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Tokoh masyarakat Katolik yang ditemui IDN Times, R. Jacob Napiun (63), mengungkapkan bahwa letak Gereja Katolik Servatius, Gereja Kristen Pasundan, dan Masjid Agung Al Jauhar Yasfi berdiri berdekatan dan seolah membentuk segitiga. Itulah yang membuatnya lantas mendapat julukan segitiga emas. Masjid Agung Al Jauhar Yasfi benar-benar berdampingan dengan Gereja Kristen Pasundan, hanya terpisah dinding tembok.

"Yang terlebih dahulu menempati Kampung Sawah adalah umat Kristen Protestan pada 1886 silam, dengan munculnya jemaah Meester F.L Anthing dalam perhimpunan Pekabaran Injil Belanda. Sedangkan perkembangan Kristen Katolik diawali dengan pembaptisan 18 putra pada 16 Oktober 1896," ucap Jacob.

IDN Times pun beranjak menemui pengurus Masjid Agung Al Jauhar Yasfi, Kiai Haji Rachmadin Afif (73). Mengenakan kopiah dan baju koko putih, lelaki yang juga merupakan tokoh masyarakat Islam di Kampung Sawah mempersilakan IDN Times masuk ke rumahnya yang terletak di samping masjid.

"Letak masjid dan dua gereja berdekatan, kalau ditarik garis, membentuk segitiga," papar Rachmadin membenarkan julukan Segitiga Emas.
 
Dia lantas menceritakan bahwa dua gereja tersebut merupakan peninggalan zaman Hindia Belanda, lebih dulu berdiri ketimbang masjid.

"Masjid baru berdiri tahun 1977, seiring berdirinya Yayasan Fisabililah yang disingkat Yasfi," ucap dia.

Baca Juga: Ingatkan Soal Toleransi, JK: Konflik Muncul karena Fanatisme Sempit

2. Dapat penghargaan dari Departemen Agama dan Dubes Amerika

Segitiga Emas Kampung Sawah, Bukti Toleransi di Indonesia Masih KukuhGereja di Kampung Sawah, Bekasi (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Tak hanya bangunan fisik yang berdampingan, kerukunan antar umat beragama di Kampung Sawah pun sudah terbukti dan mendapat pengakuan pihak luar. Bahkan, menjadi percontohan bagi daerah lain. 

"Pemerintah Kota Bekasi sudah mengukuhkan Kampung Sawah sebagai kawasan kerukunan umat beragama pada 2014," ujar Ketua RW 04 Kampung Sawah, Jati Murni, Pondok Melati, Agatha Ani (54) pada IDN Times, saat ditemui pada Kamis 28 Maret 2019 lalu.

Ani menambahkan, di tahun yang sama penghargaan serupa juga diberikan oleh Departemen Agama Pemkot Bekasi. Tak tanggung-tanggung, pengakuan dari Duta Besar Amerika pun diperoleh tiga tahun lalu.

"Pengakuan tersebut menjadi cambuk bagi kami agar tetap mempertahankan kedamaian dan ketenteraman, meski hidup di tengah perbedaan," ujar Ani yang juga menjabat sebagai Kepala Kelompok Sadar Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Pokdar Kamtibmas) Kampung Sawah.
 

3. Membudayakan semangat gotong royong

Segitiga Emas Kampung Sawah, Bukti Toleransi di Indonesia Masih KukuhIDN Times/Sukma Shakti

Kampung Sawah telah menjadi kawasan percontohan kerukunan antar umat beragama. 

Jacob menuturkan, pada Minggu pagi selalu ada pelaksanaan ibadah yang bersamaan di Gereja Katolik Servatius, Gereja Kristen Pasundan, dan pengajian di Masjid Agung Al Jauhar Yasfi.

"Saat pengajian berlangsung, pengeras suara luar masjid dimatikan dan mereka pakai speaker di dalam, jadi umat Kristen dan Katolik bisa beribadah dengan tenang," ujar Jacob.

Kebersamaan pun terasa kental saat Hari Raya Idulfitri dan Natal datang. Jacob memaparkan saat Hari Raya Idul Fitri, umat nonmuslim ikut membantu mengamankan jalannya ibadah Salat Id.

"Umat Kristiani dan Katolik datang lebih pagi untuk membantu mempersiapkan Salat Id dan mengamankan ibadah umat Muslim. Ini sudah turun-temurun tanpa diperintah," kisah dia.

Sebaliknya, saat Natal tiba pun umat Muslim ikut mengamankan jalannya ibadah umat Kristen dan Katolik. Lahan masjid juga dibuka untuk dijadikan tempat parkir bagi jemaah gereja.

"Tidak hanya urusan ibadah, dalam kehidupan sehari-hari kita juga hidup rukun. Jika ada warga yang tertimpa musibah, kami tidak melihat sukunya, agamanya karena semua sama. Misalkan ada warga Muslim meninggal dunia, kami bantu beli bunga, dirikan tenda, atau apa saja yang bisa kami lakukan," jelas Jacob.

 

Baca Juga: Bupati Biak Numfor: Mau Belajar Toleransi, Belajarlah di Papua

4. Kehidupan Kampung Sawah selalu damai dan rukun meski masyarakat terdiri dari suku dan agama berbeda-beda

Segitiga Emas Kampung Sawah, Bukti Toleransi di Indonesia Masih KukuhGereja Kristen Pasundan Kampung sawah (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Harmonisasi kehidupan antar umat beragama terlihat mengakar kuat dalam masyarakat Kampung Sawah. Jacob mengatakan, kebersamaan dalam perbedaan sudah menjadi budaya dalam warga Kampung Sawah. Menurutnya, toleransi tersebut sudah tertanam dan diwarisi dari leluhur pada tiap generasi.

"Tidak ada yang menyuruh atau memaksa kami, tetapi wujud gotong royong ini sudah menjadi tradisi warga sejak zaman nenek moyang," imbuh Jacob.

Jacob mengungkapkan, selama 63 tahun dia tinggal di Kampung Sawah, belum pernah ada gesekan yang muncul di masyarakat. Walau demikian, dia mengakui sering kali isu-isu negatif diembuskan untuk memecah-belah masyarakat Kampung Sawah yang damai dan tenang.

"Ada yang mengatakan bahwa kami sengaja melakukan kristenisasi padahal dari sisi historis, umat Kristen dulu yang menempati Kampung Sawah. Meski isu tersebut sempat berembus, kami tidak terpecahkan, kuncinya karena kami sudah tahu satu sama lain," papar Jacob.

Ani pun mengungkapkan, kehidupan Kampung Sawah selalu damai dan rukun meski masyarakat terdiri dari suku dan agama berbeda-beda. Menurutnya, mempertahankan kerukunan antar warga adalah sesuatu yang mudah sebab sudah mengakar menjadi nilai budaya dalam masyarakat. 

"Nenek moyang kami sudah mengajarkan bagaimana hidup bertoleransi, menghargai satu sama lain, jadi kami sudah terbiasa hidup dalam perbedaan," jelas Ani.

Ani mengakui jika budaya tersebut tidak diteruskan, lambat laun akan musnah. Untuk itu, dia bersama orang tua Kampung Sawah senantiasa memberi contoh nyata pada anak-anak agar mereka terbiasa hidup di tengah perbedaan.

Selain memberikan contoh, selaku ketua RW, Ani rajin menyosialisasikan pada masyarakat agar tidak termakan berita hoaks yang bisa memecah-belah persatuan.

"Alhamdullilah, masyarakat sini tidak pernah termakan isu karena sudah memahami satu sama lain," imbuh Ani.

Dia juga memastikan, masyarakat tidak mudah terhasut dengan doktrin yang sesat, sebab Ani bersama Forum Umat Beragama selalu aktif mensosialisasikan dan melibatkan masyarakat untuk saling toleransi.

"Selama ini tidak ada doktrin atau sesuatu hal yang ganjil, tapi sebagai antisipasi, saya aktif di berbagai forum dan grup media sosial agar warga tidak mudah termakan berita hoaks atau ajaran sesat," tegas Ani.

 

5. Makna 'bagimu agamamu, bagiku agamaku' adalah kunci

Segitiga Emas Kampung Sawah, Bukti Toleransi di Indonesia Masih KukuhTokoh masyarakat Islam di Kampung Sawah, Rahmaddin Afif (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Selaku tokoh masyarakat Islam di Kampung Sawah, Rahmaddin Afif (73) selalu mengimbau generasi muda di sana untuk terus memupuk nilai-nilai kebersamaan, tak peduli apa agama dan sukunya.

"Saya selalu bilang, 'Eh tong, jangan pada ribut, semua itu saudara jangan saling bermusuhan, gak bagus, harus selaku rukun dan akur," pesan Rachmadin.

Lelaki yang akrab disapa dengan abah ini paham, sejatinya makna 'Bagimu agamamu, bagiku agamaku' seperti yang tercantum dalam Al-Qur'an Surat Al Kafirun, adalah kunci.

"Asalkan tidak memaksakan, sejatinya perbedaan agama itu tidak perlu dipermasalahkan," kata dia.

Abah pun menambahkan, Kampung Sawah juga rutin mengadakan pertemuan antar tokoh lintas agama. Dalam pertemuan itu, tidak dibahas sama sekali mengenai persoalan agama, melainkan seputar sosial atau budaya di masyarakat.

"Jika dibutuhkan tenaga, pikiran, dana kami siap. Kalau misalnya ada yang merendahkan, menghina, menyinggung orang Kristen di kampung kami, saya sendiri yang akan berhadapan. Hidup ini harus rukun, harus damai, musuhan itu gak ada untungnya," ucapRachmadin.
 

6. Munawaroh, satu di antara sekian perempuan yang hidup dalam perbedaan

Segitiga Emas Kampung Sawah, Bukti Toleransi di Indonesia Masih KukuhWarga Kampung Sawah (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Satu di antara warga Kampung Sawah, Munawaroh, mengaku tidak masalah hidup di tengah masyarakat yang heterogen. Dia menikah dengan laki-laki beragama Kristen. Perempuan berusia 45 tahun ini pun lantas membebaskan keenam anaknya untuk menganut agama sesuai keyakinan masing-masing.

"Kami gak pernah maksa anak untuk ikut agama siapa. Tiga anak ikut saya, yang tiga ikut bapaknya. Saat puasa dan Natal, kami saling menghormati," imbuh Munawaroh.

IDN Times pun tertarik menelusuri Kampung Sawah lebih dalam. Saat memutuskan untuk memasuki sebuah gang yang hanya bisa dilalui satu mobil, IDN Times menemukan rumah-rumah berjejer. Berdiri juga pura yang terletak di antara rumah tersebut. Sejumlah warga terlihat asyik bercengkrama dan IDN Times ikutan nimbrung di salah satunya.

Suryo, laki-laki asal Sukoharjo, duduk bersama istri dan tetangganya Christin, di teras rumah. Secangkir teh menemani perbincangan mereka, Kamis (28/3) sore itu.

Mereka mempersilakan IDN Times duduk di kursi kayu di teras. Pada IDN Times, Suryo mengaku senang hidup di tengah masyarakat Kampung Sawah yang heterogen.

"Sudah sepuluh tahun kami tinggal di sini, warganya selalu rukun meski beda agama," papar Suryo. Tidak hanya dalam kehidupan bermasyarakat, dalam keluarga pun Suryo juga menjunjung tinggi nilai toleransi. Dia bersama istri membebaskan anak-anak mereka untuk memeluk agama yang diyakini.

"Agama itu hak pribadi, saya dan istri beragama Katolik, sementara tiga anak kami beragama Islam, yang terakhir Katolik. Tapi, kami bisa hidup rukun," ucap dia.

Suryo pun menceritakan kisah lain, yaitu ketika seorang tokoh agama Islam di Kampung Sawah memberikan tanahnya untuk pembangunan gereja. Meski berbeda, warga Kampung Sawah saling menjaga. Dia pun memberi contoh peristiwa yang terjadi beberapa puluh tahun lalu.

"Jadi beberapa puluh tahun lalu, saya lupa tepatnya, ada sekelompok orang yang mencoba menghentikan kami untuk beribadah di gereja. Tapi, usaha mereka dihadang oleh sejumlah tokoh Islam di sini. Mereka diusir dari kampung kami," cerita Suryo.

Suryo pun menegaskan akan bertindak sama jika ada umat Kristen yang menyakiti orang Islam di kampung tersebut.

Baca Juga: Meneladani Toleransi ala Nabi Muhammad Lewat Kisahnya dan Orang Kafir

Topik:

  • Elfida
  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya