Fahri Hamzah Tolak Mentah 2 Poros Koalisi: Bisa Timbulkan Konflik

Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gelombang Rakyat (Gelora), Fahri Hamzah berharap agar polemik wacana pembentukan dua poros bakal calon presiden (capres) di Pilpres 2024 tidak diperpanjang lagi. Menurutnya, dua poros koalisi justru membuka peluang terjadinya konflik dan perpecahan.
Oleh sebab itu, Fahri mengajak semua pihak memikirkan hal yang sifatnya bermanfaat bagi kepentingan nasional, bukan menciptakan konflik tidak beralasan di masyarakat.
"Sekarang kita sudah ada tiga calon. Kita berharap sekali dengan tiga calon ini, coba mulai kita bikin agak tenang sedikit. Kita tidak harus bertengkar terus, apalagi mempertengkarkan hal-hal yang semakin memperuncing konflik," kata Fahri Hamzah saat memberikan pengantar diskusi Gelora Talks bertajuk 'Pilpres 2024: Mengupas 2 atau 3 Pasang Capres?', Kamis (5/10/2023).
1. Fahri Hamzah nilai adanya ketidaksempurnaan sistem pemilu

Dalam diskusi yang dihadiri politisi PDIP Aria Bima dan Ketua Bapilpres Projo Panel Barus itu, Fahri menegaskan, semua kandidat capres dan partai politik (parpol) pendukung harus menyadari sistem pemilu yang dipakai saat ini tak sempurna.
"Kita harus memikirkan betul kali ini, bahwa dengan tiga kandidat ini kita harus menyadari ada ketidaksempurnaan sistem, tapi paling tidak dengan tiga kandidat ini supaya kita bisa mengelola ketidaksempurnaan itu, dalam menentukan pilihan terbaik," ucap dia.
Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 ini menilai, sistem demokrasi liberal yang digunakan dalam sistem Pemilu 2024 tidak memfasilitasi nominasi atau kriteria seorang capres yang memiliki narasi, tetapi justru mengedepankan kombinasi adanya kecocokan saja. Sehingga, tujuan yang ingin dicapai hanya mencari perbedaan sebagai sumber konflik, bukan persamaan dan persatuan.
"Partai Gelora sedari awal menghendaki satu sistem atau desain yang memungkinkan bangsa ini menerima kenyataan bahwa bangsa kita temasuk salah satu bangsa yang paling aneh di dunia, karena bisa mengumpulkan perbedaan dalam jumlah yang begitu banyak. Alhamdulillah kita tetap bisa bersatu, sekarang sudah 78 tahun kita merdeka sebagai bangsa dan negara," katanya.
2. Presidential threshold merugikan

Fahri mengatakan, para elite nasional dan pimpinan parpol saat ini baru menyadari, tingginya presidential threshold (PT) sebesar 20 persen, ternyata justru merugikan. Sehingga dampaknya, mereka berusaha sekuat tenaga mengabaikan nominasi dalam penentuan capres, dan lebih mengedepankan kombinasi politik pragmatis sesuai dengan kepentingan politik.
"Kita syukuri threshold sekarang menyerah pada hasil survei. Kita sekarang seperti meniti jembatan terjal, di kiri dan kanan ada jurang, Maka perlu kebesaran hati untuk tidak memperuncing perbedaan, dan kita bisa selamat, serta mendapatkan presiden baru pada 20 Oktober 2024," ujarnya.
Lebih lanjut, dia berharap, presiden terpilih pada Pilpres 2024 bisa mendesain ulang sistem pemilu yang terbaik untuk Indonesia, sehingga mampu mengakomodasi perbedaan untuk persamaan, bukan sebagai sumber konflik.
"Saya kira ikthiar yang dilakukan PDIP dan Projo, kita tidak bisa menolak. Tetapi dengan tiga kandidat ini, kita memang perlu kebesaran hati, adanya persoalan sistem ini yang harus kita perbaiki ke depan. Kita semua sedang berikhtiar supaya kita selamat di 2024 nanti," jelasnya.
3. PDIP bantah ingin dua poros koalisi karena khawatir Ganjar kalah

Sementara itu, politisi PDI Perjuangan (PDIP), Aria Bima Aria Bima membantah bahwa dua poros koalisi merupakan keinginan partainya yang khawatir Ganjar Pranowo kalah di putaran kedua.
Hal itu, menurut Aria Bima, sudah dibantah oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam penutupan Rakernas pada Minggu (1/10/2023). Megawati menyatakan, ada upaya menjodoh-jodohkan Prabowo Subianto dan Ganjar Prabowo, padahal mereka sudah punya pasangan masing-masing.
Dia juga menyampaikan, dengan PT 20 persen, PDIP sebenarnya bisa mengusung calon preside dan wakil presiden tanpa berkoalisi dengan partai lain. Namun, PDIP tetap menjalin koalisi dengan PPP, Hanura, dan Perindo.
"Tapi kan kami sangat menghargai parpol-parpol bergabung untuk berkoalisi dalam koalisi besar mengusung capres dan cawapres sesuai yang mereka kehendaki," kata Aria Bima.
Sebenarnya, keinginan membentuk dua poros mempertimbangkan banyaknya wacana mengenai Pilpres 2024 satu putaran. Hal itu dipercaya akan menghemat anggaran dan sosio ekologi, mengingat Pilpres 2024 memakan biaya besar.
"Jadi wacana ini bukan hanya dalam konsep PDIP, tapi ada pihak lain yang juga menginginkannya. Antara lain salah satunya menghemat biaya dan presidential threshold. Sebab, kalau Pilpres 2024 satu putaran saja akan memakan biaya sebesar Rp17 triliun, dan jika dua putaran akan menghabiskan dana Rp34 trilliun," jelasnya.
Dengan pertimbangan itu, Aria menilai, Pilpres 2024 mengerucut dua poros pasangan, tidak tiga pasang seperti saat ini.
"Saya sangat yakin ke depannya, bisa saja dari satu poros tersebut ada yang berkoalisi ke partai atau koalisi lainnya," jelas politisi senior PDIP itu.