Jaringan Gusdurian: Dwifungsi TNI/Polri Bentuk Pengkhianatan Reformasi

- Jaringan Gusdurian menolak revisi UU TNI yang dapat menghidupkan kembali dwifungsi TNI/Polri.
- Prajurit aktif harus fokus pada tugas pertahanan negara, bukan politik atau administrasi pemerintahan.
Jakarta, IDN Times Jaringan Gusdurian dengan tegas menolak revisi UU TNI yang berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi TNI/Polri. Direktur Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid mengajak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah untuk menempatkan kepentingan bangsa dan negara dengan menolak bentuk-bentuk pelemahan demokrasi.
"Menyetujui RUU TNI yang berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi TNI/Polri adalah bentuk pengkhianatan pada reformasi," kata Alissa dalam keterangannya, Rabu (19/3/2025).
1. Keterlibatan prajurit aktif kurangi profesionalisme

Dia menilai, prajurit aktif harus fokus pada tugas pertahanan negara, bukan politik atau administrasi pemerintahan .
"Keterlibatan prajurit aktif dalam politik dapat mengurangi profesionalisme dan membuat tentara abai terhadap tugas utamanya sebagai penjaga kedaulatan negara," ucap Alissa.
2. Dwifungsi militer mengaburkan batas antara ranah militer dan sipil

Alissa menilai dwifungsi TNI akan mengaburkan batas antara ranah militer dan sipil, sehingga melemahkan kontrol sipil atas angkatan bersenjata.
"Dengan kekuatan bersenjata dan posisi strategis dalam pemerintahan, tentara berpotensi menyalahgunakan kekuasaan, melanggar HAM, dan bersikap represif terhadap masyarakat," katanya.
3. Jaringan Gusdurian mengecam pembahasan RUU TNI yang tidak transparan

Alissa mengatakan Jaringan Gusdurian juga mengecam pembahasan RUU TNI yang tidak transparan dan cenderung menghindari pengawasan publik.
"Apalagi rapat tersebut menggunakan fasilitas mewah di tengah banyaknya jargon efisiensi yang berimbas pada memburuknya pelayanan publik di berbagai sektor," katanya.