KPU: Tingkat Partisipasi Pilkada 2024 di Nasional Rata-rata 71 Persen

- Partisipasi masyarakat dalam Pilkada 2024 mencapai 71 persen, namun turun dibandingkan Pilkada 2020 yang mencapai 76,09 persen.
- Minimnya keterlibatan publik dalam proses mengusulkan calon kepala daerah membuat masyarakat malas menggunakan hak pilihnya di Pilkada 2024.
- Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengucapkan terima kasih kepada para penyelenggara pemilu di daerah dan masyarakat, sebab pilkada serentak 2024 berjalan baik secara mayoritas.
Jakarta, IDN times - Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengatakan KPUD di tingkat kabupaten/kota dan provinsi telah menyelesaikan rekapitulasi suara di Pilkada 2024. Ketua KPU, Mochammad Afifuddin mengatakan tingkat partisipasi masyarakat secara nasional terhadap Pilkada 2024 mencapai 71 persen.
"Partisipasi kita yang dulu sempat ditanyakan sekarang per tanggal 4 (Desember) kemarin, di nasionalnya rata-rata sudah di angka 71 persen," ujar Afifuddin ketika memberikan keterangan pers pada Jumat (13/12/2024).
Ia mengatakan data yang masuk belakangan datang dari wilayah Papua. Pernyataan soal tingkat partisipasi pemilih, disampaikan oleh Afifuddin karena sering ditanyakan oleh publik. Bahkan, salah satu paslon yang semula hendak menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) menggunakan dalih rendahnya partisipasi publik di Pilkada 2024 sebagai salah satu indikasi telah terjadi kecurangan.
Namun, tingkat partisipasi di Pilkada serentak 2024 lebih rendah dibandingkan Pilkada 2020 lalu. Padahal, ketika itu, Pilkada digelar ketika terjadi pandemik COVID-19. Tingkat partisipasi Pilkada 2020 mencapai 76,09 persen.
1. Warga malas menggunakan hak pilih karena calon kepala daerah terbatas

Sementara, menurut peneliti utama Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, minimnya keterlibatan publik karena dalam proses mengusulkan sosok calon kepala daerah tidak sejalan dengan aspirasi mereka. Faktor itu diduga membuat masyarakat malas menggunakan hak pilihnya di Pilkada 2024. Sebab, publik merasa aspirasi mereka tidak dilibatkan dalam menentukan calon pemimpin.
"Terbukti, misalnya kalau ada problem atau masalah yang ditemui mantan presiden, bukan malah menukik kepada keinginan masyarakat," ujar Firman pada 4 Desember 2024 lalu di Jakarta.
Maka, hasilnya publik tak antusias menggunakan hak pilihnya. "Jadi, publik merasa pilkada seperti datang ke restoran dan dia harus memilih, tapi menunya sudah ditentukan," katanya.
2. KPU ucapkan terima kasih karena Pilkada serentak 2024 berlangsung lancar

Lebih lanjut, Afifuddin mengucapkan terima kasih kepada para penyelenggara pemilu di daerah dan masyarakat, sebab pilkada serentak 2024 berjalan. "Secara mayoritas, baik itu proses pelaksanaan maupun rekapitulasi, di tingkat kabupaten/kota dan provinsi, berjalan baik," kata Afifuddin.
Ia tak menampik masih ada daerah yang bermasalah. Namun, itu sedang dalam proses diselesaikan.
3. Mulai muncul suara agar pilgub dikembalikan lewat DPRD

Sementara, kini mulai muncul dorongan agar Pilkada serentak ditiadakan. Sebaiknya pemilihan gubernur dan calon kepala daerah lainnya dipilih lewat DPRD.
Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti tidak sepakat dengan usulan politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), agar konsep pemilihan kepala daerah dikembalikan lewat DPRD. Usulan itu tidak akan mengatasi substansi isu pilkada yakni politik berbiaya tinggi atau politik uang.
"Ini gimana analisisnya? Kalau mau menganalisa hukum dan kebijakan, maka kita harus lihat akar masalahnya apa. Kebijakan itu selalu menyasar akar masalah, bukan menyasar gejala. Gejala orang yang berkurang partisipasinya di TPS (Tempat Pemungutan Suara), bukan berarti semua digebyah uyah," ujar Bivitri ketika dihubungi pada 7 Desember 2024 lalu.
"Jadi, ibaratnya kalau ada tikus di lumbung, tikusnya ya kita cari bukan lumbungnya kita bakar," imbuhnya.
Pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD, kata Bivitri, tidak akan menghapus praktik politik uang hingga penyalahgunaan kekuasaan. "Semua praktik itu malah akan pindah ke DPRD. Cuma akan lebih elite. Hal ini menurut saya lebih mengerikan," katanya.
Sedangkan, dalam praktik pilkada langsung, calon kepala daerah masih bisa mengerem agar tidak terlalu mencolok melakukan praktik politik uang.