Menko Mahfud: AS Dilaporkan Langgar HAM Lebih Banyak daripada RI

Jakarta, IDN Times - Menteri Koordinator bidang politik, hukum dan keamanan, Mahfud MD ikut angkat bicara soal laporan situasi HAM yang dirilis oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada 13 April 2022 lalu. Di dalam laporan dengan tajuk "Indonesia 2021 Human Rights Report" setebal 60 halaman itu turut menyoroti adanya potensi pelanggaran privasi dalam penggunaan aplikasi PeduliLindungi.
Hal itu lantaran berdasarkan laporan yang diterima oleh Deplu AS, aplikasi itu menyimpan data-data pribadi dan sensitif. Selain memuat data pribadi, keberadaan warga juga status vaksinasi. Data-data itu, menurut Deplu AS rentan disalahgunakan oleh pemerintah.
Mahfud justru beda pendapat. Pemerintah, kata Mahfud, membuat aplikasi PeduliLindungi untuk melindungi rakyat.
"Nyatanya, berkat aplikasi itu, kita berhasil mengatasi pandemik COVID-19, bahkan lebih baik dari Amerika Serikat," ungkap Mahfud di dalam akun media sosialnya seperti dikutip pada Sabtu, (16/4/2022).
Ia menambahkan memberikan perlindungan terhadap HAM bukan hanya HAM individual, melainkan juga HAM komunal-sosial. Artinya, negara harus berperan aktif untuk mengatur.
"Itu lah sebabnya, kita membuat program PeduliLindungi yang sangat efektif membantu menurunkan penularan infeksi COVID-19 dari varian Delta hingga Omicron," tutur dia.
Lalu, apa respons Mahfud ketika di dalam laporan itu, Indonesia diindikasikan melakukan pelanggaran HAM karena ada sejumlah peristiwa kematian yang semena-mena tanpa melalui proses pengadilan?
1. Mahfud sebut berdasarkan pelapor khusus, AS lebih banyak melanggar HAM

Sementara, terkait isi laporan setebal 60 halaman itu sendiri, Mahfud memiliki catatan justru Negeri Paman Sam yang dilaporkan oleh pelapor khusus dari Dewan HAM PBB (SPMH) lebih banyak melanggar Hak Asasi Manusia ketimbang Indonesia.
"Pada periode 2018 hingga 2021 misalnya, berdasarkan SPMH, Indonesia dilaporkan telah melanggar HAM 19 kali. Sedangkan, pada periode yang sama, AS dilaporkan telah melanggar HAM 76 kali," ungkap Mahfud.
Beberapa negara lainnya seperti India juga cukup banyak dilaporkan telah melanggar HAM. "Laporan-laporan itu ya biasa saja dan bagus. Itu kan sebagai penguatan peran masyarakat sipil," tutur pria yang pernah menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.
Namun, ia menggarisbawahi, apa yang tertulis di dalam laporan itu belum tentu isinya benar.
2. Deplu AS turut soroti pembunuhan semena-mena, khususnya di Papua

Di bagian awal, AS menyoroti peristiwa pembunuhan semena-mena sepanjang 2021 yang terjadi di Indonesia. Salah satu yang mereka soroti yakni tindak kekerasan yang terjadi di Papua. AS menyoroti adanya operasi melawan anggota Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua dan Papua Barat.
"Polisi dan pihak militer tidak melakukan penyelidikan apapun. Ketika mereka berupaya melakukannya, justru gagal mengungkap fakta atau temuan dari penyelidikan internal," kata Deplu AS.
Situasi itu diperparah dengan sulitnya Papua untuk diakses. Sehingga, pihak-pihak lain yang ingin melakukan konfirmasi fakta menjadi sulit.
Deplu AS juga menyitir data dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang melaporkan ada 16 kematian karena dugaan penyiksaan dan penganiayaan oleh aparat keamanan pada periode Juni 2020 dan Mei 2021. KontraS juga menyebut ada 13 orang yang meninggal akibat ditembak polisi pada periode waktu yang sama.
Deplu AS turut menyebut penembakan terhadap enam anggota Front Pembela Islam (FPI) sebagai pembunuhan yang semena-mena. Mereka mengutip laporan dari Komnas HAM yang menyebut polisi tetap menembak mati empat anggota FPI meski sudah berada di tahanan polisi.
"Komnas HAM bahkan menyebut dalam laporannya bahwa pembunuhan itu sebagai pelanggaran HAM," kata Deplu AS.
3. Kemenkes nilai tuduhan AS tak punya bukti kuat PeduliLindungi telah langgar HAM

Sementara, Kementerian Kesehatan langsung membantah tuduhan Deplu AS bahwa aplikasi PeduliLindungi telah melanggar HAM. Menurut juru bicara Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, tuduhan AS tanpa didasarkan pada bukti apapun. Ia pun juga meminta agar sejumlah pihak berhenti memelintir isi laporan tersebut.
"Laporan tersebut tidak menuduh penggunaan aplikasi ini telah melanggar HAM. Kami memohon agar para pihak berhenti memelintir seolah-olah laporan tersebut menyimpulkan adanya pelanggaran," kata Nadia di dalam keterangan tertulis pada Jumat, 15 April 2022 lalu.
Ia juga menjelaskan penggunaan aplikasi PeduliLindungi sudah nyata berkontribusi pada menurunnya penularan COVID-19 di Indonesia, dibandingkan di negara tetangga, termasuk negara lain yang lebih maju.
"Aplikasi ini memiliki peran yang besar dalam menekan laju penularan saat kita mengalami gelombang Delta dan Omicron," tutur Nadia.
Nadia pun menepis kekhawatiran data pribadi yang tersimpan di aplikasi PeduliLindungi bakal disalahgunakan. "Aspek keamanan sistem dan perlindungan data pribadi pada PeduliLindungi menjadi prioritas Kementerian Kesehatan," katanya.
Seluruh fitur di aplikasi itu beroperasi dalam suatu kerangka kerja perlindungan dan keamanan data yang disebut Data Ownership dan Stewardship. "Kemenkes menggandeng BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara) untuk menerapkan pengamanan berlapis, termasuk pengamanan pada infrastruktur dan data enkripsi," ujar Nadia.