Peradi Ingatkan DPR-Pemerintah dan KPU Patuhi Putusan MK

Jakarta, IDN Times - Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) mengingatkan kepada DPR, pemerintah, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU), agar tidak membangkang dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua Umum Peradi, Luhut MP Pangaribuan, menyampaikan implementasi dari negara hukum harus dimanifestasikan dalam bentuk penghormatan terhadap setiap putusan hukum yang dihasilkan kekuasaan kehakiman. Sehingga wajib dijalankan pemerintah dan DPR, sebagai institusi yang membentuk serta melahirkan undang-undang (UU).
"Dalam hal pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 merupakan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pelaksana kekuasan kehakiman yang merdeka dan independen," kata Luhut dalam keterangannya.
Sehingga, kata Luhut, dalam rangka menjalankan mandat konstitusi yang menyatakan negara Indonesia adalah negara hukum dan untuk menjamin kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik, pemerintah, DPR, dan KPU wajib mematuhi serta menjalankan putusan MK sebagaimana mestinya.
"Jangan pernah menciptakan legacy yang buruk dalam praktik negara hukum, the rule of law, bukan the law of the rulers (kuasa hukum, bukan hukum penguasa ) kuasa hukum adalah esensi dari negara hukum (Yap Thiam Hien)," tutur Luhut.
Dia menegaskan, esensi negara hukum tidak boleh direduksi kekuasaan, sebab akan merusak tatanan hidup bernegara di Indonesia.
"Putusan MK sebagaimana dinyatakan dalam UU MK adalah final dan mengikat: 'Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum' (Pasal 47 UU MK)," imbuh Luhut.
Diketahui, ada dua Putusan MK yang menjadi pembahasan Baleg DPR dalam menggodok Revisi UU Pilkada. Keduanya ialah Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024.
Dalam putusan Nomor 60, MK mengubah syarat bagi parpol untuk mengusung calon kepala daerah di Pilkada 2024. Dari yang semula mengacu pada persentase jumlah kursi DPRD, menjadi berpatokan pada jumlah raihan suara pada Pileg terakhir. Dengan demikian, partai atau gabungan partai politik bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi di DPRD.
Sayangnya, Panitia Kerja RUU Pilkada DPR RI tak sepenuhnya mematuhi putusan MK. Mereka menolak dengan menyepakati perubahan syarat ambang batas pencalonan Pilkada, dari jalur partai tersebut hanya berlaku untuk partai yang tidak punya kursi di DPRD. Sementara, bagi parpol yang lolos parlemen DPRD, masih mengacu pada jumlah kursi DPRD.
Kemudian, dalam Putusan MK Nomor 70, diatur bahwa penghitungan syarat usia minimal calon kepala daerah dilakukan sejak KPU menetapkan pasangan calon, bukan sejak calon kepala daerah terpilih dilantik. Lagi-lagi, DPR membangkang terhadap putusan itu dengan justru berdalih mengikut putusan MA bahwa syarat usia minimal calon kepala daerah dihitung saat pelantikan paslon.