Program MBG dan SPPI Pemerintahan Prabowo Dikritik Bias Gender

- Konde.co menyoroti rendahnya keterwakilan perempuan dalam pemerintahan Presiden Prabowo
- Program makan bergizi gratis dan Program Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia hanya melibatkan perempuan sebesar 10-15 persen
Jakarta, IDN Times - Konde.co menyoroti rendahnya keterwakilan perempuan dalam pemerintahan Presiden Prabowo, salah satunya dalam program makan bergizi gratis (MBG), dan Program Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI).
Manajer Riset Konde. Co Luthfi Maulana Adhari memaparkan program tersebut menyasar perempuan dan menjanjikan porsi tenaga kerja perempuan sebesar 55 persen.
“Sayangnya, perempuan masih dijadikan simbol domestifikasi. Perempuan hanya dilibatkan pada urusan dapur, sedangkan posisi strategis tetap didominasi laki-laki,” ujar Luthfi dalam temuan Kond.co pada program Women's Media Watchdog untuk Isu Pemilu dan Pilkada Berperspektif Gender dan Inklusi, Kamis (8/5/2025).
1. Kuota keterwakilan perempuan untuk jadi kepala badan hanya 10 persen

Luthfi mencontohkan, program SPPI yang kini telah memasuki batch ketiga, merekrut sarjana untuk ditempatkan sebagai kepala badan di daerah, termasuk yang mengelola program MBG.
"Namun, kuota keterwakilan perempuan di program ini hanya berkisar 10 sampai 15 persen," katanya.
2. Konde.co pertanyakan hubungan kepala MBG dengan latihan militer

Selain itu, peserta SPPI diwajibkan mengikuti pelatihan dasar militer selama tiga bulan, yang dilatih langsung oleh TNI dan Universitas Pertahanan.
“Maksud saya apa hubungan dengan program SPPI? Kepala MBG dengan gender? Jadi kan di sini juga masih maskulin. Bahkan menjadi kepala bagian, itu juga didiknya melalui dasar militer," ujarnya.
3. Program Prabowo mereproduksi peran tradisional perempuan

Lutfi menilai, alih-alih mendorong kepemimpinan perempuan secara substansial, program-program tersebut justru mereproduksi peran tradisional perempuan. Ia menyebut hal ini sebagai bentuk politik domestifikasi, di mana perempuan dikembalikan ke ranah-ranah domestik, bukan di posisi pengambil kebijakan.
"Politik domestifikasi Indonesia, di lingkungan yang masih maskulin, sangat kental dan terus digemborkan. Perempuan ya tugasnya lagi-lagi balik ke yang domestik," ujarnya.