Pengamat: Momen MA Mirip dengan Situasi di MK, Tidak Rasional

Gugatan diputuskan sama-sama dalam waktu singkat

Jakarta, IDN Times - Direktur Eksekutif LIMA Indonesia, Ray Rangkuti, menilai putusan Mahkamah Agung (MA) yang memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengubah ketentuan PKPU soal batas usia calon gubernur dan calon wakil gubernur, menyerupai momen yang terjadi di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2023.

Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024, menurut Ray, dibuat tidak berdasarkan pertimbangan objektif, melainkan subjektif. Dalam putusannya, hakim agung memerintahkan KPU menetapkan penghitungan batas usia bukan saat pendaftaran menjadi calon gubernur dan calon wakil gubernur. KPU diperintahkan untuk menghitung batas usia ketika calon kepala daerah terpilih dilantik. 

"Lima Indonesia memandang putusan MA tersebut terlalu dipaksakan, tidak objektif dan rasional," ujar Ray dalam keterangan tertulisnya, Jumat (31/5/2024). 

Ada empat alasan dalam pandangannya mengapa putusan MA dinilai tidak rasional. Pertama, penetapan batas usia sebagai syarat calon kepala daerah sejak pelantikan adalah kekeliruan besar. 

"Sebab, pelantikan kepala daerah bukan lagi kewenangan KPU. Jadwal pelantikan kepala daerah sepenuhnya merupakan wewenang presiden. Maka, menghitung batas usia dari wilayah yang bukan merupakan kewenangan KPU jelas sebuah kekeliruan," tutur Ray. 

1. Pengisian jabatan pada umumnya mensyaratkan pembatasan usia minimal saat pendaftaran, bukan sebelum dilantik

Pengamat: Momen MA Mirip dengan Situasi di MK, Tidak RasionalDirektur eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti. (Dokumentasi Istimewa)

Lebih lanjut, Ray mengatakan, pada umumnya pengisian jabatan secara umum mengisyaratkan adanya pembatasan minimal usia. Hal itu dihitung saat momen pendaftaran, bukan ketika hendak dilantik. 

"Apakah itu calon penyelenggara pemilu, komisioner KPK, Komisi Yudisial, hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dan lainnya. Begitu juga persyaratan untuk calon hakim agung yang bertugas di MA. Batas usia pencalonan tidak dihitung sejak pelantikan, melainkan sejak didaftarkan atau sejak ditetapkan sebagai calon," ujar dia. 

Ray menyebut kewenangan panitia seleksi hanya sampai di tahap itu. Kemudian, proses seleksi dilakukan sesuai dengan ketentuan waktu yang ada. 

Alasan ketiga, lanjut Ray, jadwal pelantikan calon kepala daerah juga tidak dapat dipastikan waktunya. Hal itu, kata dia, tergantung pada jadwal presiden sebagai kepala negara dan pemerintah. 

"Dalam kondisi saat ini, pada kenyataannya pemerintah belum membuat jadwal definitif kapan pelantikan kepala daerah hasil Pilkada 2024 akan dilaksanakan," tutur dia. 

Situasi bisa bertambah rumit, karena menurut Ray, pelantikan calon kepala daerah di Pilkada 2024 tidak dilakukan pemerintahan saat ini. Melainkan oleh presiden terpilih selanjutnya, yaitu Prabowo Subianto. 

"Maka, bisa saja presiden yang sesudahnya mengubah jadwal yang sudah ditetapkan oleh pemerintah yang sebelumnya," kata dia. 

Baca Juga: Profil Ahmad Ridha, Ketum Garuda yang Gugat Usia Kepala Daerah ke MA

2. Putusan MA menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum

Pengamat: Momen MA Mirip dengan Situasi di MK, Tidak RasionalBendera partai politik di Kantor KPU NTB. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Alasan keempat, lanjut Ray, putusan MA yang diputuskan pada 29 Mei 2024 itu bertentangan dengan tujuan MA itu sendiri, yaitu memberikan kepastian hukum.

"Menetapkan penghitungan batas usia sejak pelantikan, justru lebih tidak pasti dibandingkan ketentuan sebelumnya, yaitu dihitung sejak paslon kepala daerah ditetapkan oleh KPU," kata dia. 

Ray menilai putusan MA yang tidak memberikan kepastian hukum bertentangan dengan alasan mereka membatalkan Peraturan KPU (PKPU) Tahun 2020. 

"Penghitungan batas usia kok dihitung setelah pertandingannya selesai, bukan sebelum pertandingan. Model ngitung kayak gini ada di mana," tanyanya. 

3. Putusan MA tak berikan manfaat bagi anak muda tertarik ke dunia politik

Pengamat: Momen MA Mirip dengan Situasi di MK, Tidak RasionalFoto ilustrasi pelaksanaan pemungutan suara di TPS. IDN Times/ Riyanto

Ray juga tidak yakin terhadap alasan Partai Garuda mengajukan gugatan ke MA lantaran memiliki motif murni, agar anak muda lebih banyak yang tertarik ke dunia politik. Alasan dan dalih serupa juga diajukan penggugat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 terkait batas usia capres dan cawapres, Almas Tsaqibbirru Re A, yang merupakah mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Surakarta. 

Almas mengatakan dengan gugatan yang ia ajukan ke MK diharapkan agar anak muda di Indonesia diberi kemudahan maju dalam kontestasi politik tingkat negara. Menurutnya, ada begitu banyak anak muda yang berpotensi menjadi pemimpin negara. 

"Ini (alasan mengajukan gugatan) lebih ke prihatin kepada orang-orang yang memiliki potensi untuk maju, tapi masih terhalang batas usia. Kan banyak sekarang anak-anak muda ya (yang berpotensi). Mungkin ke depannya bukan tahun 2024 saja, mungkin pemilu selanjutnya bisa berpotensi (mengajukan sosok anak muda lain). Kan memberi jalan alternatif saja sih," ujar Almas dalam sebuah wawancara di Surakarta, pada 2023. 

Alasan itu pula yang disampaikan Partai Garuda ketika menggugat PKPU terkait batas usia calon gubernur dan calon wakil gubernur. 

Ray beranggapan putusan MA tersebut tak akan menguntungkan anak muda pada umumnya yang ingin berkecimpung di dunia politik. "Tetapi, akan menguntungkan bagi anak muda yang dibesarkan oleh nepotisme seperti Gibran atau Kaesang," ujarnya, kepada IDN Times, melalui pesan pendek hari ini.

"Untuk anak muda lain mah nanti dulu. Mungkin mereka baru tertarik setelah keluarga dinasti sudah tidak berminat lagi menjabat," tutur Ray. 

https://www.youtube.com/embed/zTDNyu4vp-s

Baca Juga: Pakar: PKPU soal Batas Usia Gubernur Sudah Benar, Kenapa Diubah MA?

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya