Soal Pembinaan Anak Nakal di Barak, Menhan: Kalau Mau Nitip Saja Boleh

- Menteri Pertahanan mendukung pembinaan siswa nakal di barak militer untuk pendisiplinan.
- Gubernur Jawa Barat menegaskan status pelajar tetap ada, dengan pola hidup dan kegiatan yang diubah.
- Koordinator Nasional JPPI menyatakan kekhawatiran atas pendekatan instan tanpa kajian yang sahih dalam mendidik siswa.
Jakarta, IDN Times - Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mendukung rencana Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, untuk membina siswa SMA atau SMK nakal di barak militer. Menurutnya, ide itu positif asal untuk mendukung proses pendisiplinan.
Sjafrie mewanti-wanti keberadaan siswa di barak militer hanya untuk diberikan latihan kedisiplinan, bukan untuk latihan militer.
"Itu kan kebijakan untuk mau mendukung ketertiban dan disiplin anak-anak. Ya, kalau mau nitip (untuk dibina) boleh aja," ujar Sjafrie di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (30/4/2025).
"Tapi, di sana bukan untuk latihan militer lho ya," imbuhnya.
Sementara, terkait eksekusi dan pengaturan teknis di lapangan, Sjafrie akan menyerahkan hal tersebut kepada Panglima Kodam di wilayah masing-masing.
1. Gubernur Jabar sebut siswa berada di barak bukan untuk latihan militer

Sementara, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengatakan, status pelajar yang dikirim ke barak militer tidak akan hilang. Mereka tetap belajar tetapi lokasinya tidak di sekolah, melainkan di barak milik TNI.
"Status mereka tetap pelajar SMP A, SMA B. Mereka tetap belajar seperti biasa tapi pola hidup yang diubah. Misalnya, satu, jam tidur harus jam 20.00 WIB, itu kan susah. Kalau di rumah gak bisa," ujar Dedi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat pada Selasa kemarin.
Kedua, siswa tersebut harus bangun pukul 04.00 WIB. Begitu bangun, mereka harus mandi dan wajib membersihkan ruang tidurnya.
"Mereka juga harus membersihkan lingkungan halamannya. Setelah itu, mereka sarapan pagi dan sekolah. Sore harinya mereka berolahraga, main sepak bola, voli, latihan baris berbaris, push up, sit up. Itu saya lakukan dulu ketika saya masih SMA," tutur dia.
Pada Senin hingga Kamis, siswa yang beragama Islam diajari berpuasa. Setelah maghrib, mereka diajari mengaji.
"Kan itu bagus. Ini arah pembinaan yang tidak didapatkan di ruang dan lingkup pribadi di rumah. Tidak ada pelatihan militer. Masuk ke barak militer, bukan untuk latihan perang-perangan. Itu semua dilakukan untuk membangun kesehatan pikiran, mental dan raga," ujarnya.
2. Gubernur Jabar perkirakan waktu pembinaan di barak bisa 6 bulan hingga 1 tahun

Gubernur yang juga merupakan politikus Partai Gerindra itu menyebut, durasi waktu pembinaan bagi siswa nakal tersebut berkisar enam bulan hingga satu tahun. Selama proses pembinaan, mereka tetap belajar seperti biasa.
"Bedanya mereka belajar di kompleks area milik TNI atau Polri. Nanti ada ruang kelas. Akan ada guru dari sekolah asal untuk berkunjung, gak ada problem apapun," ujar Dedi.
Ia juga menjelaskan klasifikasi siswa nakal yang dapat dibina di barak militer. Mulai dari siswa yang terlibat aksi tawuran, mabuk-mabukan.
"Lalu, anak yang tukang main mobile legend, yang kalau malam, tidurnya tidak mau sore. Ke orang tuanya melawan, melakukan pengancaman, di sekolahnya bikin ribut. Bolos terus, dari rumah berangkat ke sekolah, tapi tidak nyampe di sekolah," katanya.
3. Pengamat pendidikan nilai cara militeristik belum tentu efektif didik siswa

Sementara, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai belum ada penelitian atau kajian yang sahih serta membuktikan cara-cara militeristik lebih efektif untuk mendidik siswa dibandingkan pembelajaran yang sudah ada saat ini. JPPI melihat cara yang ditempuh oleh Pemprov Jabar adalah langkah yang instan dan tidak melalui diskusi yang panjang.
"Kami mengkhawatirkan anak-anak akan menjadi kelinci percobaan. Seharusnya, ini harus disikapi dengan serius," ujar Ubaid ketika dikonfirmasi pada hari ini.
Soal keterlibatan anak dengan geng motor atau aksi tawuran bukan terjadi pada 2025 saja. Itu masalah akut yang harus dikaji secara mendalam dan serius.
"Sehingga, solusinya tidak bisa menggunakan cara instan. Faktornya seolah-olah hanya satu," katanya.
Ia menggarisbawahi, pendidikan kedisiplinan dengan cara militer dan sipil jauh berbeda. "Kalau menggunakan pendekatan militer, itu hanya kepatuhan murni atau takut terhadap sanksi atau pimpinan. Penyadaran terhadap kedisiplinan di pendidikan sipil, itu caranya berbeda. Warga sipil menggunakan pendidikan disiplin positif," tutur dia.