WANSUS: Tantangan Berat Media Anti-Mainstream Hidup di Indonesia

- Media anti-mainstream, seperti Project Multatuli, menghadapi tantangan berat untuk bertahan hidup di tengah derasnya arus informasi di Indonesia.
- Project Multatuli adalah gerakan jurnalisme berbasis keanggotaan pertama di Indonesia, mengajak pembaca untuk berpartisipasi langsung dengan sistem membership yang diberi nama Kawan M.
- Tantangan media anti-mainstream saat ini antara lain adalah model bisnis komersil yang tidak lagi efektif dan sulitnya mendapatkan pendapatan dari pembaca. Hibah dan donasi juga tidak bisa menjadi sumber pendapatan jangka panjang bagi media independen.
Jakarta, IDN Times - Media anti-mainstream atau media bukan arus utama punya tantangan berat untuk bertahan hidup di tengah derasnya arus informasi.
Di Indonesia sendiri, media anti-mainstream jumlahnya bisa dihitung jari jika dibandingkan dengan media online yang kini makin menjamur.
Sebut saja, Project Multatuli. Media bukan arus utama yang kini masih bisa bernapas menghiasi perkembangan komunikasi, media, dan demokrasi di Indonesia.
Berbeda dari media massa berbasis online yang banyak dijumpai, Project Multatuli adalah gerakan jurnalisme berbasis keanggotaan pertama di Indonesia. Jurnalisme dari publik, oleh publik, dan untuk publik ini jadi kekuatan Project Multatuli di tengah persaingan media massa yang semakin ketat.
Media mainstream lainnya terbiasa dengan adu cepat terbit dan memainkan isu yang cenderung sama. Namun, Project Multatuli hadir sebagai inisiatif jurnalisme yang ingin melayani publik dengan mengangkat suara-suara dipinggirkan, komunitas-komunitas yang diabaikan, dan isu-isu mendasar yang disisihkan.
Media yang berkantor di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan ini mengajak pembaca untuk berpartisipasi langsung dengan sistem membership yang diberi nama Kawan M. Project Multatuli mengajak pembaca untuk berpartisipasi lebih mendalam dalam gerakan jurnalisme publik.
Membership adalah “kontrak sosial” antara Kawan M dan tim Project M di mana Kawan M memberikan dana, waktu, tenaga, keahlian, atau jaringan, kepada organisasi pers untuk mendukung suatu tujuan yang mereka yakini.
Project Multatuli meyakini, dengan sistem dan mekanisme membership seperti ini, bisa menjaga independensi dari pengaruh oligarki dan meningkatkan kualitas pemberitaan. Meski begitu, ternyata tantangannya cukup berat. Project Multatuli beberapa kali sempat mengalami peretasan usai memberitakan isu sensitif terkait kritik pedas terhadap pemerintah.
Lantas apa saja tantangan media anti-mainstream saat ini? Mungkinkah media semacam ini bisa bertahan? Simak wawancara khusus IDN Times bersama Direktur Eksekutif Project Multatuli Evi Mariani
Bagaimana strategi dan cara Project Multatuli sebagai media yang tidak mengikuti arus bisa bertahan?

Sebenarnya kami kan ya memang bertahan baru juga. Jadi sebenarnya, sejujurnya kalau mau ngomong sudah teruji atau belum, ya sejujurnya memang belum teruji juga. Kami juga masih deg-degan lah gitu ya. Tapi memang yang sudah jelas tidak akan kami lakukan adalah ngambil model yang seperti media mainstream dan kebanyakan pada umumnya di Indonesia. Karena itu udah jelas-jelas di saat sekarang, sudah jelas-jelas sulit.
Nah sulitnya itu dia di dua lini. Satu, di lini editorial, media model bisnis komersil yang mengandalkan iklan, baik iklan dari jumlah klik-klik, maupun dari bukan yang Google AdSense tapi yang iklan kerjasama sama korporat, kerjasama atau dipasang iklan. Dua lini itu dulu sebelum disrupsi digital ada yang namanya firewall, yang misahin antara bisnis sama editorial. Jadi redaksi itu nggak boleh di cawe-cawe, kayak ada garis api yang suci, nggak boleh ditabrak.
Dulu waktu zaman koran, cetak itu berhasil dengan model kayak gitu. Berpuluh-puluh tahun its ok. Sehingga independensi redaksi itu bisa terjaga dulu. Karena sekali orang pasang iklan, sekali korporat pasang iklan itu uang iklannya cukup buat ngebiayain. Dulu sebenarnya bukan soal korannya ya. Tapi zaman dulu itu korporat-korporat tuh gak punya pilihan banyak untuk pasang iklan. Paling billboard gitu kan, sisanya media kan memang bener-bener media tuh tempatnya ini pasang iklan. Karena bergaining posisinya media itu tinggi, jadi dia bisa pasang harga mahal ya buat iklan.
Nah, model komersil ini terus kemudian setelah distribusi digital menurun, menurun, menurun sampai menurutku di saat sekarang ini sudah lima tahun terakhir terutama sejak pandemi itu semakin kelihatan ini sudah dibuntutnya nih kayaknya kalau aku ngeliat. Jadi kayak turun, turun, turun, turun ini sudah dibuntut turunnya. Sudah kayak apa tahun-tahun ini tuh adalah masa-masa semua kelabakan lah gitu. Termasuk aku juga denger teman-teman yang dotcom-dotcom juga pusing lah sebenarnya mereka. Yang model klik juga sudah susah.
Sebenarnya banyak yang sudah sadar gitu gak bisa cari duit dari konten. Monetisasi konten tuh doesn't work anymore. Jadi mereka harus cari bisnis lain buat subsidi. Nah di titik inilah terus kemudian model bisnis kayak Project Multatuli itu masuk. Kita berusaha nyari-nyari jalan lain.
Jadi dia tuh (media kebanyakan) gak berhasil di dua titik. Titik pertama, firewall-nya itu langsung bolong. Langsung bolong-bolong karena bergaining position media tuh lemah banget. Misalnya ada sebuah perusahaan ya, dia pasang iklan banyak banget di mana-mana di media. Sehingga gak ada media yang berani ngeritik perusahaan itu. Saking bergain position media itu segitu lemahnya.
Karena daya tawar media di depan banyak korporat-korporat yang punya uang itu lemah. Si korporat-korporatnya itu bisa cawe-cawe ke redaksi. Bisa neken mana yang gak boleh ditulis dan mana yang boleh ditulis. Nah, itu dia terus kemudian di satu sisi komersial gagalnya di situ ya.
Kedua, dia gagalnya bahkan di sisi bisnisnya itu sendiri sudah karena persaingan banyak. Juga duitnya juga dimakanin big tech-nya ya kan. Dimakanin Google, dimakanin Facebook, dimakanin Meta. Yang medianya tuh cuma dapet receh. Itu jadinya secara ekonomi juga makanya terus banyak media yang melakukan pengurangan dan pemecatan. Media pada pengetatan ikat pinggang, apalagi cetak. Cetak udah gak mau karena sekarang korporat kalau media sombong ngasih (harga iklannya) mahal, dia tinggal ya udah aku pasang iklan aja di YouTube, pasang iklan sendiri di Instagram. Sewa influencer, pilihannya banyak banget.
Jadi media tuh sekarang ngemis, dulu tuh kayak raja gitu dicari-cari. Sekarang tuh ngemis sampai akhirnya susah banget. Nah di situasi kayak gitu, media kayak Project Multatuli. Kami hadir, kami sudah non-komersial. Kalau non-komersial kemudian jalan barunya apa? Jalan barunya masih nyari kalau mau jujur. Berhasil apa gak? Deg-degan gitu ya. Cuma kami cukup yakin bahwa yang komersil gak bisa kami tiru, itu udah jelas harus ditinggalin. Harus cari di jalan baru.
Nah, jalan barunya macam-macam. Kalau misalnya kayak New York Times, Washington Post, dia kan subsidi silang ya. Atau dibeli sama mega-billionaire gitu ya, kayak Jeff Bezos gitu kan. Ini sebenarnya gak sehat juga dalam arti kalau dikuasai milionaire, billionaire. Itu gak terlalu sehat juga karena dia terlalu kuat ya, si billionairenya.
Artinya media paling ideal dapat uang dari pembaca?
Memang intinya si media ini harus dapat uangnya itu paling ideal ya. Paling ideal itu dari pembaca sebenarnya. Entah bentuknya itu langganan kayak Tempo, Kompas, atau donasi, atau membership. Kalau membership itu sebenarnya gabungan, dia tuh di tengah gabungan antara donasi sama langganan ya. Jadi kalau kayak Project Multatuli tuh Kawan M kan, itu sebenarnya uang dari pembaca.
Nah pendapatan dari pembaca itu paling membebaskan sebenarnya. Paling membebaskan dalam arti, pembaca ini bayar misalnya Rp30 ribu, Rp50 ribu atau berapa gitu ya sebulannya. Gak ada satupun pembaca, mau dia misalnya seseorang yang sangat powerful, langganan jadi kawan M misalnya gitu ya. Tapi dia kan bayar Rp50 ribu, dia posisinya setara kayak pembaca lain. Dia gak lebih berkuasa sehingga dia gak bisa cawe-cawe redaksi.
Nah kalau misalnya pembacanya banyak, ada 100 ribu pembaca, ada 200 ribu pembaca yang bayar uang kecil-kecil, tapi yang bayar banyak. Itu sangat membebaskan. Sangat membebaskan dalam arti kita liputan apa saja, bisa liputan mendalam, bisa liputan yang jauh-jauh. Bisa liputan investigatif, bisa liputan yang ngeritik polisi. Apalagi kalau pembacanya pembaca kritis yang memang sudah jenuh, sudah jengah sama misalnya kelakuan polisi yang kok gak ada yang ngawasin sih polisi, bisa sih bunuh, bisa sih berbohong, gak ada konsekuensinya. Ayo dong ngawasin, oh pers bisa ngawasin.
Sekarang dengan model komersil dan model-model yang kayak gini, banyak pemilik media gak berani karena takut. Nanti kalau ada apa-apa diteken terus pengiklan gak mau nyentuh gitu ya. Nah sebenarnya yang ideal adalah pembaca, itu yang kami usahakan.
Apa tantangan Project Multatuli dan bagaimana strategi bertahan?

Sayangnya selain kesadarannya belum tinggi, daya beli juga, ini kerasa banget kami setahun terakhir tuh agak turun. Karena daya beli orang kan kayaknya makin susah ya setahun terakhir, itu sangat berpengaruh. Nah ini yang jadinya sulit, terus kemudian kalau (pemasukan) dari pembaca saja kurang, dari mana lagi dong? Nah (pemasukan) kami kan memang dari donor, dari hibah. Hibah ini kan memang sebenarnya dia gak ngatur, gak cewe-cewe redaksi ya, juga gak nuntut kami buat profit.
Jadi kalau hibah itu dia lebih programatik ya. Jadi misalnya jagain demokrasi, kita dapat hibah-hibah untuk jagain ruang atau per isu tertentu. Atau misalnya yang sekarang banyak itu kan hibah-hibah buat isu lingkungan, energi hijau dong gitu ya, transisi energi.
Enaknya si donor-donor ini karena mereka dari negara-negara, ada yang dari Indonesia, ada yang dari asing. Tapi biasanya mereka kan negara yang menghormati demokrasi. Karena dia menghormati demokrasi, dia paham demokrasi. Jadi dia gak cawe-cawe redaksi gitu ya. Dia cuma bilang tulis dong ini transisi energi kok masih kurang dibicarakan ya di Indonesia. Padahal negara Eropa kan punya kepentingan misalnya gitu ya. Jadi per program. Itu tidak berisiko tinggi, tapi gak sebebas kalau (dana yang didapat) dari pembaca.
Tapi ya sudah, maksudnya dari pembaca kan gak bisa sepenuhnya. Jadi harus dimix, jadi ada bauran pendapatan ya. Nah kalau Project M itu kami dari pembaca itu sampai sekarang masih di bawah 10 persen. Terus dari hibah-hibah kayak per program ya, yang banyak lingkungan memang. Lingkungan, misalnya masyarakat adat. Ayo dong, masyarakat adat isunya di push misalnya.
Ya sudah, sejalan kok dengan kebajakan editorial, kebajakan. Nah yang sekitar 50 persennya lagi itu dari jasa. Kami tuh berperan kayak agensi gitu. Kayak agensi bisa konten, aku kasarnya tuh palugada konten komunikasi. Mau EO in seminar soal gender, bisa kita yang EO in, nanti kita yang undang membicara, kita yang cariin pembicara.
Jadi kami berperan sebagai agensi dan itu di luar redaksi ya. Jadi kayak ada unit bisnis sendiri yang ngerjain gitu. Dan ini banyak media juga mengerjakan gitu ya.
Slow journalism, tak ikut arus media
Cuman memang gak bisa, gak bisa sangat besar. Makanya kami itu tidak akan membesar karena mahal. Dengan model bisnis kayak gini, kami gak bisa lebih dari 25-30 full time gitu. Kalau dia udah gede 100 gitu. Nah kalau harian tuh mahal kan, harian tuh mahal. Kami slow journalism. Jadi slow journalism itu yaudah kalau yang ngejar-ngejar harian kan banyak ada di mana-mana gitu. Yang ngepos di KPK, yang ngepos di ini. Ada banyak gitu yang bisa kita, dari Antara, dari mana gitu kan.
Bahkan sekarang kan website Setneg, Kemenkes kan punya website sendiri. Jadi kami slow journalism, kami harus kecil, kecil terus sehingga dari bisnis sendiri cukup buat subsidi.
Kami sepenuhnya dimiliki sama teman-teman sendiri ya. Maksudnya gak ada pemegang saham misterius yang siapa yang harus disembunyikan namanya gak ada. Kami dimiliki, kami-kami sendiri. Jadi pekerjanya sendiri sama ada yayasan. Yayasan Jurnalisme Publik Indonesia gitu.
Jadi kami bener-bener, si perusahaannya ini dibikin memang bener-bener untuk untuk jurnalisme publik, juga untuk kesejahteraan karyawan.
Apakah idealnya media independen harusnya dapat dana publik?

Aku sebenernya mau nge-push gini, ini (strategi Project Multatuli) belum ideal ya. Kami juga masih deg-degan. Sebenarnya yang ideal ya, yang ideal harusnya salah satu pendapatan jurnalisme yang independen itu harusnya dari dana publik, uang rakyat. Sebenernya, kayak BBC itu kan dibayar sama uang rakyat, pajak TV kalau gak salah. ABC di Australia, TBS di Amerika, NPR juga sebagian ada bauran dari dana publik.
Jadi uang rakyat harusnya betul bisa buat jurnalisme independen. Itu mekanismenya yang penting banget. Karena yang selama ini bukannya gak pernah ada uang rakyat masuk ke media, banyak. Tapi masalahnya, model mekanismenya itu yang masih buruk sehingga gak ada independensinya. Karena di daerah itu APBD masuk ke media tapi tidak dinamai uang rakyat jadi uang bupati, uang wali kota, uang DPRD gitu. Iya si uang rakyat ini dirampok dulu kasarannya ya sama kepala daerahnya. Dianggap seolah-olah itu duitnya mereka padahal bukan uang mereka lho. Itu uang rakyat.
Tapi kan gitu ya di Indonesia ya bansos dari rakyat dibilang jadi bansos Jokowi, bansos Gibran gitu ya. Itu kan perampokan sebenarnya. Dirampok dulu gitu uang rakyatnya di-aku milik pribadi padahal bukan.
Nah persis di pertanyaanmu benar karena mekanismenya yang sangat penting. Dan di Indonesia sekarang gak ada mekanismenya. Dan kalau pun ada misalnya kayak TVRI sama RRI itu sebenarnya kan yang disebut media publik itu TVRI sama RRI. Beda sama antara ya kalau Antara BUMN ya. Kalau RRI sama TVRI itu benar-benar publik dalam arti benar-benar pakai uang rakyat. Masalahnya orang-orangnya masih warisan Orba. Jadi mereka tuh karena apa mentalnya masih mental Orba kerjanya buat pemerintah bukan buat rakyat.
Padahal kalau uangnya dari rakyat ya kerja buat rakyat dong harusnya. Termasuk ngeritik pemerintah dong gitu. Iya kan di demokrasi kan rakyat harusnya ngawasin kekuasaan.
Harusnya TVRI, RRI bisa ngawasin kekuasaan. In a way BBC, ABC meskipun ada batasnya, mereka lumayan kan bisa ngeritik gitu. Kayak NPR, bisa kok ngeritik gitu. Kalau di Indonesia tuh susah gitu. Nah ini yang aku masih harus itu ya, kita harus bareng-bareng push uang rakyat bisa buat jurnalisme independen.
Karena kalau ngarepin pembaca doang, bisnis sendiri kecil-kecilan, hibah-hibah juga gak bakal lama. Hibah itu hibah ya misalnya dari kedutaan sana kedutaan sini atau donor gede-gede paling 3-4 tahun, 5 tahun gitu ya. Gak bisa lama-lama.
Jadi kami juga memang kami baru rapat kerja tahunan, baru selesai kemarin tanggal 20. Kami memutuskan harus lebih sustainable lagi gitu ya. Caranya gimana ya memang bikin bisnis ini sampai kepikirannya udah liar gitu ya. Kayak bikin tambak ikan aja kali gitu ya. Bikin kos-kosan apa ya gitu. Sudah segala macem gitu ya, karena kami sendiri masih deg-degan.
Tapi kami solid, yakin gitu ya. Di raker itu kami yakin bahwa ini jalan yang benar. Cuma harus hati-hati banget supaya sustain.
Apakah Project Multatuli tak menerima iklan dari pemerintah?

Gini, kalau iklan secara umum sih kita gak anti ya. Maksudnya kita terima-terima aja. Tapi dengan syarat harus, gak boleh satu, gak boleh cawe-cawe editorial doang gitu. Maksudnya editorial independence itu take it or leave it, kalau kamu mau ngelarang-ngelarang atau ngatur-ngatur, kami harus gini.
Kalau ngasih saran oke lah, misalnya kami kan kerjasama sama NGO, misalnya NGO Greenpeace ya bilang, kami tuh lagi campaign ini anak buah kapal gitu ya. Greenpeace tuh gak bakal tuh, cawe-cawe kami mesti nulis apa. Dia cuman bilang, kami butuh story-nya.
Campaign-nya kami udah bagus karena Greenpeace campaign-nya bagus banget, lebih banyak followers-nya, lebih banyak dari Project Multatuli. Tapi dia bilang kami butuh story-telling-nya, butuh story jurnalistiknya. Terus dia bilang kalau kami sih sebenarnya sudah riset, ini risetnya, boleh pakai, boleh enggak gitu ya.
Nah itu kita kerjasama tuh. Sebenarnya pada dasarnya kan kayak iklan sebenarnya. Tapi beda ya, dia bukan iklan dalam arti korporat, misalnya pasang iklan terus bagus-bagusin kami, enggak gitu.
Bagus-bagusin Greenpeace kan enggak gitu. Dia cuman punya program, dia punya program butuh story-nya. Jadi kita bilang, oh align nih, maksudnya satu jalan nih, satu visi sama kita, karena kami melayani yang dipinggirkan, isu anak buah kapal yang jadi perbudakan di industri udang dan ini segala macam, oke dong gitu.
Itu sejalan sama editorialnya gitu ya. Itu redaksi itu yang mutusin, redaksi bilang oke, enggak apa-apa gitu. Kalau redaksi enggak mau, kita enggak paksa. Kita enggak paksain kerjasama. Jadi redaksi harus bilang mau dulu. Gitu ya, jadi iklan tuh enggak anti.
Tapi kalau pemerintah modelnya yang iklan, iklannya yang model pasang iklan kayak yang konvensional banget, kayak Tempo. Tempo kan memang iklan dari misalnya Kabupaten Kutai gitu ya. Misalnya Kabupaten Kutai sedang ada program apa. Atau Kabupaten Tubaba, kota kreatif misalnya gitu ya. Terus mereka pasang iklan dalam hal konvensional yang benar-benar kayak iklan dipasang di satu halaman, terus yang ada firewallnya itu bentuknya kan biasanya fontnya beda, warnanya beda. Pokoknya pembaca begitu tahu, begitu buka langsung, oh ini mah bukan berita, ini iklan. Yang penting kan itu.
Yang penting itu. Gak apa-apa. Kalau kayak gitu kan dia posisinya sama kayak BMW pasang iklan di majalah, ya kan, orang tahu. Itu sebenarnya, kami bukannya anti atau bilang itu salah. Enggak, itu sebenarnya oke aja. Itu salah satu pendapatan yang menurutku oke. Cuma, kan di Project Multatuli tuh gak ada tempatnya aja. Yang kayak banner gitu kita memang gak ngasih.
Jadi kalau kamu klik Project M tuh gak ada tuh banner-banner pop-up. Buk, buk, buk, gak ada. Gak ada iklan yang Google juga. Kami juga gak pasang yang AdSense. Karena gini, karena liputan kami itu panjang. Yang baca gak banyak. Kalau yang baca itu misalnya katakanlah 10 ribu sampai 200 ribu gitu ya. Pendapatan yang kami dapat dari klik-klik-klik itu gak nyandak.
Gak BEP sama biaya liputannya. Satu kali liputan bisa Rp10 juta. Semua ya, misalnya logistik, penulis, apa segala macam. Karena kami berusaha bayar penulis gak rendah-rendah amat lah gitu ya. Apa, transport juga kalau jauh kita tanggung. Itu, ya apa, kalau buat misalnya satu artikel itu Rp10 juta itu rata-rata ya. Maksudnya harga sedang lah gitu. 10 juta itu kami harus berapa ya? Kayaknya harus sejuta deh kliknya. Nah itu gak mungkin.
Jadi kami yaudah daripada gak dapat ngapain gitu. Jadi sebenarnya sama sekali gak usah pakai klik.
Bagaimana mekanisme produksi artikel Project Multatuli sendiri sampai berita itu dipublish?
Kalau editor ya sama ya. Cuma karena kami kecil jadi prosesnya tuh lama. Reporter karena kami banyak freelancer, jadi gak langsung ngasih CMS tapi lewat email. Terus editor buka.
Tapi itu biasanya tulisan sebelum dia nyelesain tulisan itu biasanya udah ada komunikasi panjang dulu. Jadi satu nge-pitch ide dulu. Nge-pitch ide, kalau idenya gak disetujui jangan nulis, jangan ke lapangan gitu ya.
Tapi kalau misalnya punya ide, terus ya oke disetujui, dibiayai itu semua dan kebutuhannya kalau jauh. Terus tek-tok, tek-tok, tek-tok, draft 1, draft 2, draft 3 bisa sampai gak tahu tergantung editornya. Setahuku paling cepat tuh sebulan lho,
kalau di Project M itu. Ada tuh tulisan 3 bulan nggak naik-naik. Tek-tok, tek-tok dikembalikan, dikembalikan lagi.
Nah untuk soal bahasa kami karena gak punya proof reader, proof readingnya keroyokan. Jadi sebelum di-push ke publik, udah naik CMS, tapi kan URL-nya belum nge-top nih ceritanya, maksudnya belum di-distribusi. Itu dibaca dulu rame-rame sama kadang-kadang aku, kadang-kadang teman yang lain.
Jadi ada satu kanal dislike gitu, proof reading gitu. Terus di-proofread gitu. Kadang-kadang pembaca juga yang nangkep, kalau ada yang salah gitu ya, kita koreksi.
Media sosial Project Multatuli banyak diikuti anak muda. Apakah ini efektif buat membangun citra dan kampanye konten?

Nyampe, nyampe banget. Jadi memang gini, gak semua orang yang lihat media sosial. Kami klik website ya, kalau Instagram apalagi parah tuh Instagram klik ratenya. Itu karena bisa-bisanya meta lah. Tapi ya, kami gak apa-apalah gitu. Tau pemikiran kritisnya nyampe, pesan utamanya lumayan nyampe di Instagram gitu ya. Dan iya, follower kami banyak anak muda yang kritis gitu ya.
Aku juga cukup terkejut gitu, misalnya story yang kurir ya, kamu tau gak story kurir yang ada reporter yang dua minggu jadi kurir Shopee, nyobain terus dia nulis pengalamannya? Itu sebuah karya jurnalisme sastra yang harus kamu lihat. Itu kamu bayangin ya, itu 11.000 kata. Itu Agustus 2021 ya, keluarnya ya. Jadi ini Siviria namanya, sekarang dia di BBC.
Siviria ini beneran dua minggu dia jadi kurir nyobain. Terus dia cerita semua, terus begitu editornya, itu prosesnya tiga bulan, empat bulan baru ini. Editornya bilang ada 11.000 kata nih aku baru selesai.
Aku tuh dalam hati udah deg, aduh 11.000 kata yaudah kalau yang baca itu cuma kami-kami yang di Project Multatuli waktu itu ada kayak sekitar tujuh orang gitu ya, plus pasangan-pasangan kami masing-masing kami paksa baca gitu ya. 10-15 orang juga udah, yaudah di klik 10-15 orang juga gak apa-apa lah gitu ya. Aku udah nangis banget. 11.000 kata, eh tahunnya ratusan ribu lah yang baca. Sampai sekarang masih dibaca itu.
Dan dampaknya luar biasa. Dia sampai, serial kurir kami itu sampai bikin, membuat Kementerian Tenaga Kerja waktu itu, tahun 2021 sampai awal 2022. Itu manggil Paguyuban driver. Meskipun terus pada akhirnya mereka gak follow up ya sayangnya ya. Tapi terus kayak e-commerce, e-commerce bikin petisi.
Gara-gara sebelumnya e-commerce, eh e-commerce itu apa ya, ada buruh digital kalau gak salah gitu, bikin petisi di Change.org gara-gara tulisan-tulisan kami. Jadi tulisannya ada banyak serial kurir itu ada 8. Jadi yang kami kejar tuh
Anak muda masih suka baca, berharap ada perubahan sosial dan politik
Nah anyway soal anak muda ya, itu ternyata ratusan ribu dan yang baca banyak anak muda. Dan aku tuh terus mikir, oh ternyata yang orang bilang anak muda mah, senangnya nonton video mana mau baca. Senangnya nonton video itu benar. Tapi mana mau baca itu gak benar. Mau baca. Ada yang mau baca. Gak sedikit yang mau baca. Gak sedikit yang mau baca panjang. Gak sedikit yang mau mikir dalam. Itu banyak ternyata.
Meskipun aku gak ngomong skalanya, juta-juta ya. Tapi, oh cukup banget gitu. Dan untuk bikin perubahan sosial, perubahan politik itu kan juga kamu gak butuh juta-jutaan orang sebenarnya.
Jadi iya anak muda itu ternyata, apa, ternyata mereka juga capek baca informasi yang sepotong-sepotong, yang gak dalam gitu ya. Ya gak cuma anak muda ya. Mix lah.
Pembaca kami tuh anak muda kayaknya sekitar 50 persen ya. 50 persen lagi di atas 35 tahun. itu pembaca pembaca kami adalah, mereka yang capak dengan berita yang pendek-pendek, capek mau baca satu story pendek aja kudu dikerubutin iklan yang banyak. Itu mereka capek, terus udah dikerubutin banyak iklan mereka juga harus klik beberapa kali dan informasinya minim banget, gak dalam. Itu orang-orang yang lelah seperti itu tuh sudah banyak, itu sebabnya salah satu alasan kenapa model komersial yang tadi aku bilang gagal secara editorial independennya, sudah gak bisa diandelin, juga secara ekonomi karena orang sudah mulai bergeser. Mereka merasa mendingan cari informasi dari influencer, atau dari media homeless di Instagram kalau cuma pendek-pendek saja.
Project Multatuli sempat dicap hoaks, sempat diretas karena perjuangkan keadilan soal kekerasan. Apa tantangan ke depan?

Kalau aku kira sih media itu, media baru nggak akan terbendung ya sebenarnya. Cuma kan bikin media baru itu gampang, yang susah kan merawatnya. Jadi kalau media baru itu terus bermunculan tapi masalahnya mereka jalan atau tidak, hidup atau tidak. Hidup itu kan dari ekonomi dia jalan atau tidak, dari sisi politik itu dia bisa bertahan atau tidak.
Nah memang sebenarnya begini, jangan salah ya kalau menurutku apa yang terjadi di rezim Prabowo sekarang ini, buat kami itu sedikit lebih mengkhawatirkan tapi tidak signifikan karena penyempitan demokrasinya, kebebasan persnya itu masih ada. Tapi dengan catatannya banyak, itu kan sebenarnya sejak Jokowi, yang tadi dibilang kami di cap hoaks segala macam itu kan salah satu cara membungkam ya. Polisi itu nggak cuma ngecap waktu Project Multatuli kan, polisi itu juga pernah ngecat hoaks Tempo dan Kompas harian, tulisan teman-teman Kompas di Jogja yang soal kekurangan oksigen di Rumah Sakit Sardjito itu. Itu aku screenshot, aku simpan sebagai bukti bahwa emang sudah berkurang kebebasan pers. Jadi kalau media independen seperti Project Multatuli, aku berharap justru makin banyak yang baru.
Cuma pertanyaannya secara ekonomi apakah dia bisa bertahan atau tidak, secara politik dia prematur atau tidak karena dibatasi rezim dengan berbagai cara. Misalnya kena kasus hukum misalnya sampai duitnya habis itu kan sesuatu yang harus kami antisipasi ya. Atau kena di dos attack, berkali-kali sampai akhirnya kami harus berlangganan server mahal banget misalnya, akhirnya ini bisa mengakibatkan bangkrut karena nggak bisa bayar server. Hal-hal kayak gitu harus terus diantisipasi.
Tapi menurutku, Prabowo itu cuma agak bedanya dengan Jokowi, agak sedikit ngerinya gitu ya, itu dia memang sudah sangat terang-terangan ngomong nggak suka sama media kan. Beda sama Jokowi yang sangat menganggap, media itu teman. Dan media juga terus kemudian berbalas lah ya sentimennya Jokowi ya, di forum pemred gitu, diundang-undang makan siang. Kalau Prabowo tuh nggak bakal kayaknya, dugaanku dia nggak punya rencana lah untuk dekati media. Mungkin dia ya pakai tim sendiri ya untuk berkomunikasi, toh banyak jalurnya sekarang. Media dilepeh aja sama dia nggak masalah sekarang.
Jadi cara dia (Prabowo) itu pertama, mungkin membuat media semakin nggak relevan. Kemudian yang lebih mengerikan jadi audience-nya itu dibikin, rasanya dibikin gak percaya sama media. Ya itu salah satunya dengan dicap sebagai hoaks. Kayak gitu-gitu dugaanku mungkin masih akan terus terjadi. Kedua, situasi politik yang makin sulit, yang terasa ada konsolidasi kekuasaan sehingga oposisi itu mengecil banget. Pers yang juga salah satu kekuatan yang harusnya bisa jadi oposisi semakin kecil ya. Salah satu metode yang mungkin akan mengalami kenaikan, dan sebenarnya trennya sudah mulai ada beberapa tahun yang lalu dan mungkin akan naik terus, itu terkait serangan orang tak dikenal. Data AJI, laporan yang masuk itu sebenarnya pelaku utama ancaman kebebasan terhadap pers itu orang tidak dikenal. Orang tidak kenal itu tetap bukan sebenarnya rakyat biasa yang kurang kerjaan membubarkan acara jurnalis atau nyerang jurnalis kayak yang dialami Bocor Alus, orang tidak dikenal itu bukan rakyat biasa yang iseng atau nggak suka. Itu tuh mestinya bagian dari satu suruhan, cuma dia itu tidak dikenal atau teridentifikasi karena polisi nggak pernah investigasi. Karena polisi nggak pernah laporan Tempo diserang, mana hasilnya, polisi nangkap orangnya nggak, kan nggak ada. Tidak ada satupun laporan terhadap pers yang dilaporkan ke polisi itu ketemu ditangkap sampai ke pengadilan orangnya. Contohnya ada Victor Mambor yang dekat rumahnya dibom, terus ada bocor alus dua kali mobilnya diserang, mana ada yang ketahuan pelakunya. Ini tren yang bakal, ini bukan harapan lho ya, harapannya sih jangan tapi kok kayaknya ini yang akan dihadapi sama wartawan ke depan.
Jadi ancaman lewat hukum, kayak ITE, masih akan terus jalan. Digital juga akan terus jalan termasuk diserang buzzer, didoxing, itu bakal terus terjadi dan akan terus naik dugaanku. Fisik yang tadinya tidak terlalu untuk wartawan di Jakarta, aku duga itu akan semakin kencang. Fisik dalam arti itu ya seperti bom, atau teror. Itu kayaknya yang mesti hati-hati.