China Kecam Kemitraan Trilateral Baru AS-Jepang-Filipina

Jakarta, IDN Times - Kementerian Luar Negeri China menentang manipulasi politik serta pembentukan lingkaran tertutup dan eksklusif di kawasan. Pernyataan tersebut merespons kemitraan trilateral baru antara Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Filipina.
"Tokyo dan Manila seharusnya tidak terlibat dalam kerja sama trilateral dengan mengorbankan kepentingan negara lain," kata juru bicara kementerian, Mao Ning, pada Jumat (12/4/2024).
Mao juga mengomentari pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh Washington, Tokyo, dan Manila pada Kamis. Menurutnya, semuanya hitam dan putih dan sangat jelas. Mao menyebutnya sebagai kampanye kotor yang dilakukan kelompok trilateral terhadap China, dilansir The Straits Times.
1. Melawan ambisi China di kawasan Indo-Pasifik
Presiden AS Joe Biden, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida, dan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr sepakat meningkatkan kerja sama pertahanan dan ekonomi dengan tujuan melawan ambisi China di kawasan Indo-Pasifik.
Ketiga pemimpin tersebut juga merilis pernyataan setelah KTT trilateral pertama mereka pada 11 April di Washington, yang menyatakan keprihatinan serius mengenai tindakan berbahaya dan agresif Beijing di Laut China Selatan, dilansir Kyodo News.
Biden mengatakan bahwa komitmen pertahanan AS terhadap Jepang dan Filipina, yang saat ini menghadapi manuver konfrontatif China, sangat kuat.
Beijing mempunyai klaim yang tumpang tindih dengan beberapa negara ASEAN, termasuk Manila. Juga, mengenai situasi di Laut China Timur, di mana Beijing-Tokyo sama-sama mengklaim gugusan pulau tersebut. Jepang menyebut wilayah itu sebagai Senkaku, sementara China menyebutnya dengan Diaoyu.
2. Kerja sama trilateral AS-Jepang-Filipina menambah deretan pengelompokkan regional

Trilateral baru ini dinilai menambah deretan pengelompokan regional, seperti aliansi AUKUS antara AS-Australia-Inggris, serta dialog keamanan QUAD antara AS-Australia-India-Jepang. Beijing menganggap blok tersebut menargetkan mereka.
Chong Ja Ian, pakar politik dan kebijakan luar negeri China dari National University of Singapore mengatakan, mungkin ada peningkatan ketegangan dengan adanya kemitraan baru tersebut. Menurutnya, Beijing dapat menemukan cara untuk mencoba dan menantang AS dan sekutu serta mitranya.
"Namun, Beijing dan semua orang juga harus menyadari risiko hal-hal yang tidak terkendali. Hal ini dapat mendorong semua pihak untuk menjadi lebih berhati-hati untuk menghindari eskalasi yang tidak diinginkan dan tidak terkendali," ujarnya.
Sementara itu, Amrita Jash dari Akademi Pendidikan Tinggi Manipal di India mengatakan bahwa trilateral baru tersebut merupakan mini-lateral lainnya di Indo-Pasifik setelah QUAD dan AUKUS, yang mana semuanya berfokus pada Beijing. Namun, kelompok-kelompok tersebut dinilai sebagai respons atas tindakan China.
"Orang dapat berargumen bahwa sikap tegas dan agresif China telah menghidupkan kembali pola pikir aliansi Perang Dingin," ungkapnya.
3. Filipina antisipasi terseret dalam persaingan geopolitik AS-China

Kekhawatiran utama atas Laut China Selatan muncul setelah banyak bentrokan antara Beijing-Manila yang memanas sejak 2023 di dekat Second Thomas Shoal, yang diklaim kepemilikannya olah kedua negara.
Salah satu insiden terbaru terjadi pada 23 Maret, ketika Manila mengatakan penjaga pantai China menembakkan meriam air ke salah satu kapal pemasoknya. Pemerintahan Marcos sedang berjuang memerangi aktivitas Negeri Tirai Bambu di wilayah perairan yang diperebutkan tersebut. Di saat yang sama, Manila mewaspadai kemungkinan hal itu dapat menyeret Filipina ke dalam persaingan geopolitik antara AS-China di kawasan.
Di sisi lain, Biden telah menyerukan bahwa setiap serangan terhadap pesawat, kapal, atau angkatan bersenjata Filipina di Laut China Selatan akan mengacu pada perjanjian pertahanan lama kedua negara, di mana mewajibkan masing-masing negara untuk saling membantu jika ada serangan.