Kekerasan Geng Meningkat, Ribuan Warga Haiti Turun ke Jalan

Jakarta, IDN Times - Ribuan warga Haiti turun ke jalan ibu kota, Port-au-Prince, pada Rabu (2/4/2024) untuk memprotes meningkatnya serangan geng. Mereka menuding pemerintah gagal menanggulangi kekerasan tersebut.
Geng-geng yang bergabung dalam koalisi bernama Viv Ansanm memaksa lebih dari 1 juta orang mengungsi dan dituduh melakukan pemerasan, pemerkosaan massal, dan pembunuhan. Situasi ini menyebabkan terhentinya roda perekonomian dan memicu kelaparan massal.
Pemerintahan transisi dan misi keamanan yang didukung oleh PBB sejauh ini belum berhasil menghentikan ekspansi geng.
1. Massa berniat ambil alih kantor perdana menteri dan CPT
Dilansir dari ABC News, beberapa demonstran mengacungkan parang, sementara yang lain memegang dahan pohon atau pelepah palem saat mereka bergerak melalui jalanan Port-au-Prince. Ban-ban dibakar untuk memblokir jalan.
“Kami tidak tahan lagi dengan ketidakamanan di negara ini. Tidak bisa diterima jika kami terus kehilangan wilayah. Kenyataannya, saya yakin wilayah ini diserahkan kepada bandit oleh pihak berwenang, yang tidak mau mengambil tindakan," kata seorang pengunjuk rasa.
Salah satu penyelenggara mengatakan bahwa protes tersebut bertujuan mengambil alih kantor perdana menteri dan membakar kantor Dewan Transisi Kepresidenan (CPT). Ini adalah protes besar pertama yang melanda pemerintahan Alix Didier Fils-Aimé, yang ditunjuk sebagai perdana menteri pada November 2024.
Saat para demonstran berkumpul di depan kantornya, polisi menembakkan gas air mata dan membubarkan massa. Beberapa orang menolak mundur dan melempari petugas dengan batu.
2. Pemerintah dituding terlibat korupsi dan kolusi dengan geng kriminal
Banyak pihak menuding bahwa lemahnya kinerja pemerintah dalam menghadapi ekspansi geng berkaitan dengan korupsi dan kolusi dengan kelompok bersenjata serta para pendukung finansial mereka. Meski pemerintah membantah tuduhan ini, otoritas Haiti memiliki sejarah panjang korupsi, sementara sistem peradilannya lumpuh di tengah maraknya kekerasan.
“Kami menuntut pemulihan keamanan, kebebasan bergerak, dan kembalinya anak-anak kami ke sekolah. Hancurkan para bandit! Hidup damai dan aman. Jika pihak berwenang kewalahan menghadapi kejadian ini, mereka harus pergi," kata pengunjuk rasa lainnya, dikutip dari Al Jazeera.
Sejak pertengahan Februari 2025, Haiti mengalami peningkatan kekerasan geng. Kelompok kriminal, yang telah menguasai sekitar 85 persen wilayah Port-au-Prince, kini memperluas serangan ke sejumlah daerah yang sebelumnya berada di luar kendali mereka.
Pada Senin (31/3/2025), sejumlah anggota geng menyerbu kantor polisi dan penjara di kota Mirebalais, Haiti tengah, dan membebaskan lebih dari 500 narapidana. Insiden ini memaksa ratusan warga mengungsi dari rumah mereka.
Menurut laporan PBB baru-baru ini, lebih dari 4.200 orang tewas dan 1.356 lainnya terluka di seluruh Haiti dari Juli 2024 hingga Februari 2025.
3. Port-au-Prince ibarat penjara terbuka
Dalam kunjungannya ke Port-au-Prince pada awal Maret 2025, William O’Neill, pakar hak asasi manusia PBB di Haiti, menyebut Port-au-Prince sebagai penjara terbuka.
“Tidak ada cara aman untuk masuk atau keluar ibu kota kecuali dengan helikopter. Geng-geng menyerang lingkungan yang sebelumnya aman, membunuh, memerkosa dan membakar rumah, tempat usaha, gereja dan sekolah," ujarnya.
O’Neill telah meminta komunitas internasional untuk meningkatkan dukungan terhadap misi yang didukung PBB guna membantu aparat Haiti meredam kekerasan geng. Namun, misi tersebut baru memiliki sekitar 40 persen dari 2.500 personel yang diharapkan, sehingga kesulitan menahan laju kekuatan geng.