Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Konferensi ICCS 2025 Dibuka di Singapura, di Tengah Dunia yang Semakin Terpolarisasi

20250624_082352_1.jpg
Presiden Singapura, Tharman Shanmugaratnam ketika berbicara di forum International Conference on Cohesive Societies (ICCS) 2025. (IDN Times/Santi Dewi)

Singapura, IDN Times - Konferensi Internasional mengenai Masyarakat Kohesif (ICCS) 2025 dibuka di Singapura pada Selasa (24/6/2025). Pertemuan dua tahunan yang membahas multikulturalisme dan toleransi itu, dimulai di saat dunia semakin terpecah belah.

Bahkan, ketika ICCS digelar, konflik antara Iran dan Israel semakin memanas. Iran terus melakukan serangan udara ke Israel dan Amerika Serikat (AS). Parlemen Iran pada Senin kemarin mendukung langkah pemerintah yang ingin menutup Selat Hormuz.

ICCS 2025 dibuka langsung oleh Presiden Singapura, Tharman Shanmugaratnam. Di dalam pidatonya, Shanmugaratnam menyoroti multikulturalisme semakin mundur dan kohesi sosial melemah di masyarakat.

Presiden yang terpilih pada September 2023 lalu itu mengutip hasil riset dari The Edelman Trust Barometer 2024. Hasilnya lebih dari separuh responden mereka di seluruh dunia merasa masyarakat kini semakin terbelah. Hanya 20 persen responden saja yang mengaku bersedia hidup berdampingan dengan orang yang memiliki pandangan berbeda dari dirinya.

"Padahal, agar masyarakat multikultural bisa tetap kohesif dan utuh di situasi dunia saat ini membutuhkan lebih dari sekedar berbagai ras, agama dan budaya dapat hidup berdampingan. Situasi itu membutuhkan lebih dari sikap toleran atau merayakan fakta suatu negara terdiri dari beragam masyarakat," ujar Shanmugaratnam di Hotel Fairmont, Singapura.

Ia mengatakan berdasarkan peristiwa di masa lalu, situasi kohesif dan multikulturalisme tidak muncul begitu saja. "Situasi harmonis harus secara aktif diupayakan oleh pemerintah, masyarakat sipil, pemimpin komunitas dan agama, media dan tentu saja masyarakat itu sendiri," tutur dia.

1. Pandangan politik ekstrem juga meningkat di dunia

Screenshot_20250625_093455_Drive.jpg
Presiden Singapura, Tharman Shanmugaratnam ketika berbicara di forum International Conference on Cohesive Societies (ICCS) 2025. (Dokumentasi Kementerian Kebudayaan Masyarakat dan Belia Singapura)

Lebih lanjut, Presiden Shanmugaratnam juga menyinggung adanya peningkatan polarisasi dalam pandangan politik. Individu yang berpandangan moderat menurun dan pandangan ekstrem cenderung meningkat.

"Hal itu bisa dilihat dari kebangkitan partai-partai kanan radikal yang mengajarkan secara terbuka atau terselubung untuk tak memberi tempat bagi budaya lain, etnis dan ras lain, serta bangsa lainnya," kata Shanmugaratnam.

Tetapi, hal yang mengkhawatirkan yaitu budaya dan identitas etnis ikut ditarik-tarik dalam perdebatan mengenai isu ekonomi. Selalu muncul persepsi adanya rasa tidak aman dalam status ekonomi tertentu.

"Ketika muncul pandangan saya kalah dan orang lain menang, membawa isu identitas dan budaya menjadi alat politik yang dapat memecah masyarakat," tutur dia.

Pandangan Shanmugaratnam diperkuat dengan adanya studi yang dilakukan oleh Focaldata di delapan negara di sepanjang Atlantik termasuk Amerika Serikat, Inggris, dan enam negara Eropa lainnya. Salah satu hasil risetnya yakni seseorang cenderung memilih partai nasionalis sayap kanan lantaran percaya kelompok minoritas akan memiliki akses lebih mudah ke lapangan pekerjaan.

"Ini jadi fakta yang jelas bahwa isu identitas dan budaya ikut terbawa ke dalam perdebatan lama mengenai ekonomi," imbuhnya.

2. Presiden Singapura ikut singgung pembunuhan di Gaza

20250624_082352_1.jpg
Presiden Singapura, Tharman Shanmugaratnam ketika berbicara di forum International Conference on Cohesive Societies (ICCS) 2025. (IDN Times/Santi Dewi)

Di forum itu, Presiden Shanmugaratnam turut menyinggung soal pembunuhan yang terjadi di Gaza, Palestina yang dilakukan oleh militer Israel. Menurutnya, jumlah masyarakat Yahudi dan non-Muslim yang menyerukan agar pembunuhan di Gaza dihentikan, semakin meningkat. Alih-alih pembunuhan terus dilakukan, mereka menyerukan agar dicapai sebuah solusi yang dapat diterima oleh kedua pihak, baik Palestina dan Israel.

"Para Rabi, Imam dan pengikut mereka ikut mendorong untuk dilakukan dialog serta terus berdoa agar tercipta perdamaian," katanya.

"Keyakinan terhadap keberagaman tetap ada di sebagian besar masyarakat," imbuhnya.

Oleh sebab itu, Shanmugaratnam mendorong agar masyarakat kembali menerapkan budaya untuk saling menghormati. Sebab, penghormatan merupakan sumber dari persatuan.

3. Menag Nasaruddin promosikan Pancasila di Singapura

20250624_103142.jpg
Menteri Agama, Nasaruddin Umar ketika berbicara di The International Conference on Cohesive Societies (ICCS) 2025. (IDN Times/Santi Dewi)

Sementara, perwakilan dari Indonesia yang berbicara di forum ICCS 2025 adalah Menteri Agama, Nasaruddin Umar. Ia mempromosikan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang diklaim sukses menjadi faktor pemersatu Indonesia yang terdiri dari beraneka budaya dan etnis. Lantaran menerapkan Pancasila, Indonesia diklaim telah berhasil menghadapi potensi beragam permasalahan yang selama ini menghantui negara yang heterogen.

Di forum itu, Nasaruddin mengatakan, ideologi Pancasila lahir dari konsensus para pendiri dan diklaim terbukti mampu memayungi keberagaman Indonesia.

"Kami bersyukur Indonesia adalah negara yang majemuk dan memiliki keberagaman suku, budaya, adat istiadat dan bahasa," ujar pria yang juga merupakan Imam Besar Masjid Istiqlal itu.

Ia juga menyebut, prinsip unity in diversity bukan slogan semata. Tetapi, itu sudah menjadi karakter Bangsa Indonesia yang telah diakui dunia.

"Keberagaman yang menjadi pembentuk lahirnya Bangsa Indonesia dan disegani dunia," tutur dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us