Pidato Lengkap Luhut Pandjaitan: Membangun AI yang Melayani Kemanusiaan

- Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan pidato di Vatikan dalam kongres Scholas Occurrences.
- Menekankan pentingnya dialog, solidaritas, dan pendidikan sebagai fondasi perdamaian dunia.
- Mengingatkan bahwa pengembangan teknologi menuntut batasan moral yang jelas.
Jakarta, IDN Times - Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Pandjaitan, menyampaikan pidato di Vatikan dalam kongres Scholas Occurrentes yang sekaligus meresmikan proyek global “Journey of Hearts, Hope, and Humanity”. Luhut menekankan pentingnya dialog, solidaritas, dan pendidikan sebagai fondasi perdamaian dunia, seraya menandai 75 tahun hubungan diplomatik antara Indonesia dan Takhta Suci.
Ia menyebut momen ini sebagai titik transformasi moral dan budaya yang relevan bagi komunitas global.
Dalam pidatonya, Luhut menyoroti dua sisi kecerdasan buatan—potensi besar untuk memajukan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kesehatan, namun juga risiko distorsi kebenaran serta ancaman terhadap martabat manusia jika tidak dibangun di atas etika.
“AI harus selalu menjadi alat bagi kemanusiaan,” tegasnya, seraya mengingatkan bahwa pengembangan teknologi menuntut batasan moral yang jelas. Ia menekankan perlunya pendekatan inklusif dalam pengembangan AI, dengan mencontohkan Institut Teknologi Del (IT Del) di Sumatra Utara yang kini menjadi salah satu pusat riset AI terdepan di Indonesia.
Luhut juga menyoroti pentingnya pendidikan untuk mempersiapkan generasi muda menghadapi era AI, mengangkat metode belajar matematika GASING yang terbukti meningkatkan kemampuan numerasi anak-anak di wilayah terpencil.
Ia menutup pidato dengan seruan kolaborasi global untuk membangun kerangka etika AI yang melindungi martabat manusia, memperkuat pendidikan, menjaga identitas budaya, dan memastikan teknologi mengangkat kehidupan masyarakat paling rentan.
Berikut isi lengkap pidatonya:
1. Janji dan tanggung jawab moral atas AI

Yang Mulia Paus Leo XIV,
Yang Mulia,
Yang Mulia, Para Cendekiawan Terhormat, dan Anggota Scholas Occurrentes,
Merupakan suatu kehormatan yang mendalam bagi saya dan bagi Indonesia untuk bergabung dalam pertemuan penting di Vatikan ini. Scholas Occurrentes telah lama menyatukan pendidikan, budaya, dan dialog. Hari ini, kita bertemu di momen transformasi yang bersejarah. Kongres tahun ini memiliki makna yang mendalam karena dengan khidmat meresmikan proyek global "Journey of Hearts, Hope, and Humanity" yang didedikasikan untuk membina dialog antarbudaya, solidaritas, dan perdamaian melalui pendidikan dan nilai-nilai bersama.
Kongres ini juga memberikan penghormatan khusus kepada Republik Indonesia pada Peringatan 75 tahun hubungan diplomatik antara Takhta Suci dan Indonesia.
Kecerdasan Buatan membawa janji yang sangat besar. Kecerdasan Buatan dapat mempercepat penemuan ilmiah, memperluas akses pendidikan, mentransformasi layanan kesehatan, dan meningkatkan kreativitas manusia. Namun, janji ini membawa tanggung jawab moral yang mendalam. AI juga dapat mendistorsi kebenaran, memperlebar ketimpangan, dan mereduksi manusia menjadi data jika tidak dibimbing oleh hati nurani dan tujuan etis. Lebih dari seabad yang lalu, Rerum Novarum membahas tantangan moral revolusi industri.
Peringatannya bahkan lebih mendesak sekarang: kemajuan teknologi harus menjunjung tinggi martabat manusia dan melindungi mereka yang rentan. Sistem otonom saat ini tidak hanya membutuhkan inovasi, tetapi juga kejelasan moral. AI harus selalu menjadi alat bagi kemanusiaan, yang berlandaskan keadilan, kasih sayang, dan solidaritas.
2. Membangun AI yang melayani dan mengangkat kemanusiaan

Untuk memastikan AI mengangkat masyarakat, kita harus membangunnya dengan niat dan makna—bukan hanya efisiensi. AI harus mendukung pembelajaran, memperluas kesempatan, dan memperkuat hubungan antarmanusia. Sebagaimana Paus Fransiskus ingatkan kepada kita selama kunjungannya ke Indonesia: teknologi tidak boleh merendahkan martabat manusia. AI harus menerangi potensi manusia—bukan mengaburkannya.
Oleh karena itu, kita harus menetapkan batasan etika dalam pengembangannya dan memastikan bahwa pengembangannya mendukung pendidikan, dialog, dan inklusi.
3. AI yang inklusif dan pengembangan teknologis

Agar AI benar-benar melayani kemanusiaan, ia harus inklusif. Kecemerlangan dapat muncul dari desa-desa semudah dari ibu kota dunia. Semboyan nasional Indonesia Bhinneka Tunggal Ika—Berbeda-beda namun tetap satu— mengingatkan kita bahwa persatuan sejati tercapai ketika setiap komunitas dapat berkontribusi.
Di Institut Teknologi Del di pedesaan Sumatera Utara, kami membangun sebuah model yang membuka pintu pembelajaran teknologi bagi mahasiswa dari latar belakang kurang terlayani. Meskipun masih kecil, IT DEL kini memiliki salah satu Pusat Penelitian dan Pengembangan AI tercanggih di Indonesia. Dari daerah terpencil ini, para lulusan telah melanjutkan studi di MIT, Harvard, Tsinghua, dan universitas-universitas terkemuka lainnya.
Keberhasilan mereka menunjukkan bahwa masa depan AI tidak seharusnya hanya dibentuk oleh mereka yang berada di pusat kekuasaan yang istimewa. Masa depan AI juga harus mencakup bakat, ketahanan, dan kreativitas siswa dari daerah pedesaan dan kurang beruntung.
4. Edukasi sebagai alat untuk mengangkat kemanusiaan

Kebangkitan AI menjadikan pendidikan semakin penting—bukan sebaliknya. Pendidikan berkualitas tinggi memberikan kaum muda alat untuk membentuk teknologi bersama kemanusiaan. Pendidikan dapat memastikan bahwa AI tidak menjadi Monster.
Diciptakan oleh Profesor Yohanes Surya dari IT DEL, metode GASING belajar matematika—menyenangkan, intuitif, dan sederhana; melalui permainan dan bernyanyi—telah mengubah kehidupan di beberapa provinsi paling terpencil di Indonesia. Di Papua, anak-anak yang dulunya kesulitan dengan aritmatika dasar kini menguasai perhitungan tiga digit hanya dalam dua minggu melalui GASING.
GASING membuktikan bahwa kejeniusan manusia bersifat universal, meskipun kesempatan tidak. Dan ini menunjukkan bagaimana pendidikan dapat mengangkat seluruh komunitas dan mempersiapkan mereka untuk dunia yang didukung AI.
5. Seruan untuk kerja sama global

Yang Mulia, Yang Mulia, Para Tamu Kehormatan, AI berkembang lebih cepat daripada kemampuan adaptasi institusi. Hal ini menuntut kepemimpinan moral bersama. Kita perlu bekerja sama untuk memastikan bahwa:
• AI melindungi martabat manusia,
• mendorong inklusi,
• memperkuat pendidikan,
• melestarikan identitas budaya,
• dan mengangkat kemanusiaan—terutama kaum miskin dan rentan.
Mari kita berkolaborasi untuk membangun kerangka etika global untuk AI, yang mencerminkan kekayaan hati nurani manusia dan universalitas kasih sayang.



















