Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Tentara Sudan Rebut Kembali Istana Presiden dari RSF  

tentara Sudan. (pixabay.com/smahel)
Intinya sih...
  • Tentara Sudan merebut kembali istana kepresidenan Khartoum dari pasukan paramiliter RSF.
  • RSF masih mengendalikan beberapa wilayah di selatan Khartoum, dan konflik berkepanjangan telah memicu krisis kemanusiaan terbesar di dunia.
  • Keberhasilan tentara merebut istana presiden meningkatkan kekhawatiran para analis akan perpecahan wilayah Sudan.

Jakarta, IDN Times - Tentara Sudan berhasil merebut kembali istana kepresidenan di Khartoum dari pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) pada Jumat (21/3/2025). Kemenangan ini menjadi pencapaian simbolis terbesar militer Sudan sejak melancarkan serangan balasan terhadap RSF pada September tahun lalu.

RSF masih mengendalikan beberapa wilayah di selatan Khartoum. Namun, kelompok tersebut telah kehilangan sebagian besar wilayah ibukota sejak perang saudara meletus pada April 2023. Konflik berkepanjangan ini telah memicu krisis kemanusiaan terbesar di dunia.

 "Hari ini bendera dikibarkan, istana direbut kembali dan perjalanan berlanjut hingga kemenangan total," tutur Menteri Informasi Sudan, Khalid al-Aleisir, dikutip dari The Guardian.

1. RSF langsung luncurkan serangan balasan

Kemenangan ini tercapai setelah pertempuran sengit di pusat kota Khartoum. Video di media sosial menunjukkan tentara Sudan merayakan kemenangan di kompleks istana. Tentara terlihat membawa senapan serbu dan peluncur granat sambil bersorak di dalam bangunan istana yang sebagian tampak rusak.

Nabil Abdallah, juru bicara tentara Sudan, mengonfirmasi di televisi negara bahwa militer telah mengambil alih istana dan gedung kementerian. Pasukan pemerintah mengklaim telah menghancurkan pasukan musuh dan menyita sejumlah besar peralatan serta senjata dari RSF.

Namun, RSF tidak tinggal diam setelah kehilangan istana presiden. Mereka melancarkan serangan drone mematikan ke kompleks istana. Serangan ini menewaskan tiga jurnalis yang sedang meliput perayaan kemenangan.

RSF mengklaim telah meluncurkan operasi kilat di sekitar istana yang menewaskan lebih dari 89 personel tentara pemerintah. Mereka juga menyatakan bahwa pertempuran untuk memperebutkan Istana Republik belum berakhir.

2. Sudan dikhawatirkan berakhir seperti Libya

Keberhasilan tentara merebut istana presiden meningkatkan kekhawatiran para analis akan perpecahan wilayah Sudan. RSF saat ini mendukung pemerintahan tandingan dan masih mengendalikan empat dari lima wilayah di Darfur. Wilayah ini memiliki luas sebesar negara Prancis dan menjadi basis kekuatan utama RSF.

RSF baru-baru ini juga merebut kota strategis al-Maliha di Darfur Utara. Kota ini berada di wilayah terakhir di mana militer Sudan masih memiliki kendali. Meskipun demikian, RSF masih kesulitan merebut el-Fasher, ibu kota Darfur Utara yang masih menjadi basis tentara pemerintah.

Profesor Sharath Srinivasan dari Universitas Cambridge menilai Sudan akan berakhir seperti Libya yang terpecah belah. 

"Perpecahan geografis terasa semakin kuat, tentu saja kecuali di el-Fasher. RSF harus mengamankan el-Fasher untuk mengklaim seluruh Sudan secara de facto, namun itu tidak pasti," jelasnya kepada Al Jazeera.

Melansir NPR,  tentara pemerintah saat ini menguasai hampir seluruh negara bagian Khartoum. Kekuasaan mereka juga mencakup sebagian besar Sudan timur dan utara.

Sementara itu, RSF terkonsentrasi di wilayah barat terutama Darfur. Sebelumnya, eks Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menuduh kelompok ini melakukan genosida di wilayah tersebut.

3. Peluang perdamaian semakin suram

Melansir BBC, tentara Sudan konsisten menolak terlibat dalam pembicaraan damai dengan RSF. Pihak militer berulang kali menyatakan tekadnya untuk merebut kembali seluruh wilayah Sudan. 

Kedua belah pihak baru-baru ini justru berjanji untuk melanjutkan peperangan. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pertempuran akan semakin intensif di bagian barat negara, terutama di wilayah Kordofan dan Darfur. Pertempuran juga berpotensi meningkat di Khartoum akibat masuknya senjata-senjata canggih.

Konflik Sudan telah memicu salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia. Puluhan ribu orang tewas, ribuan hilang, dan jutaan menderita kelaparan parah. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan bahwa konflik ini telah memaksa 12 juta orang meninggalkan rumah mereka dan menghadapi ancaman kelaparan.

Chad, Mesir, Turki, Iran, Libya, Qatar, dan Rusia dinilai memiliki kepentingan dalam konflik di Sudan. Sementara, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab dituduh memberikan dukungan finansial dan militer kepada pihak-pihak yang bertikai, meskipun kedua negara membantah tuduhan tersebut.

Sudan sebenarnya sempat menuju transisi demokrasi setelah pemberontakan menjatuhkan Presiden Omar al-Bashir pada 2019. Namun, proses ini terhenti akibat kudeta militer pada 2021.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Leo Manik
EditorLeo Manik
Follow Us