Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

UNICEF: 12 Juta Warga Sudan Berisiko Alami Kekerasan Seksual

ilustrasi anak-anak di Afrika (unsplash.com/bill wegener)

Jakarta, IDN Times - Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) mengungkapkan bahwa lebih dari 12 juta warga Sudan berisiko mengalami kekerasan seksual akibat perang saudara yang melanda negeri itu.

Dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB pada Kamis (13/2/2025), Direktur Eksekutif UNICEF Catherine Russell melaporkan, jumlah perempuan dan laki-laki yang berisiko mengalami pemerkosaan dan kekerasan seksual telah meningkat hingga 80 persen selama setahun terakhir.

Dari 221 kasus pemerkosaan terhadap anak yang dilaporkan di sembilan negara bagian pada 2024, 16 di antaranya melibatkan anak di bawah usia 5 tahun dan empat kasus melibatkan bayi di bawah usia 1 tahun.

"Data ini hanya memberi kita sekilas gambaran tentang apa yang kita ketahui sebagai krisis yang jauh lebih besar dan lebih menghancurkan. Para penyintas dan keluarga mereka sering kali enggan atau tidak dapat melaporkan kasus mereka karena kesulitan dalam mengakses layanan, takut akan stigma sosial, atau risiko pembalasan," kata Russell, dilansir dari Al Jazeera.

1. Lebih dari 900 pelanggaran berat terhadap anak-anak dilaporkan pada Juni-Desember 2024

Sejak meletus pada April 2023, konflik antara pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) dan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) telah menewaskan puluhan ribu orang, menyebabkan lebih dari 12 juta orang mengungsi dan menciptakan krisis kemanusiaan terbesar di dunia.

Russell mengatakan, lebih dari 900 pelanggaran berat terhadap anak-anak dilaporkan pada Juni-Desember 2024, khususnya di negara bagian Khartoum, Al Jazirah, dan Darfur. Sebanyak 80 persen korban terbunuh atau mengalami cacat.

Dalam pertemuan itu, pejabat UNICEF tersebut mendorong perlunya tindakan global yang mendesak, perlindungan segera bagi anak-anak dan infrastruktur penting, serta meminta pertanggungjawaban bagi mereka yang melakukan pelanggaran.

Sementara itu, pertempuran di ibu kota negara bagian Darfur Utara, el-Fasher, semakin intensif dalam beberapa bulan terakhir. SAF menuduh RSF menyerang warga sipil di sana, yang mengakibatkan lima anak di bawah usia 6 tahun tewas dan melukai empat perempuan pada Rabu (12/3/2025).

Pertempuran di el-Fasher terjadi saat RSF berupaya memperkuat cengkeramannya di Darfur usai kemenangan militer di Sudan tengah. Kota ini merupakan adalah satu-satunya dari lima ibu kota negara bagian di wilayah Darfur belum berada di bawah kendali pasukan paramiliter.

2. Pihak yang bertikai secara aktif menambah penderitaan rakyat

Christopher Lockyear, sekretaris jenderal Dokter Tanpa Batas (Medecins Sans Frontieres, atau MSF), menuduh pihak-pihak yang bertikai tidak hanya gagal melindungi warga sipil, tetapi juga secara aktif menambah penderitaan mereka. 

"Perang di Sudan adalah perang terhadap rakyat, kenyataan yang semakin jelas dari hari ke hari," kata Lockyear.

Ia juga mengkritik seruan gencata senjata yang berulang kali disampaikan oleh Dewan Keamanan PBB sebagai sesuatu yang nihil.

"Kegagalan Dewan ini dalam menerjemahkan tuntutannya sendiri ke dalam tindakan terasa seperti pembiaran terhadap kekerasan dan penderitaan. Sementara pernyataan terus disampaikan di ruangan ini, warga sipil tetap tak terlihat, tak terlindungi, dibombardir, dikepung, diperkosa, terpaksa mengungsi, serta kehilangan akses terhadap makanan, perawatan medis, dan martabat," tambahnya.

Bulan lalu, MSF terpaksa menghentikan semua operasinya di kamp pengungsi Zamzam yang dilanda kelaparan akibat kekerasan yang terus berlangsung.

3. Lockyear ingin ada kesepakatan baru bagi Sudan

Duta Besar Sudan untuk PBB, Al-Harith Idriss Al-Harith Mohamed, mengatakan kepada Dewan Keamanan bahwa pemerintah Sudan memiliki rencana nasional untuk melindungi warga sipil. Ia mengklaim Lockyear tidak mengangkat masalah apa pun kepadanya dalam pertemuan pribadi sebelumnya.

Sementara itu, Gabriel Elizondo dari Al Jazeera mengatakan bahwa para diplomat di Dewan Keamanan sering merujuk kembali Deklarasi Jeddah, perjanjian yang berkomitmen untuk melindungi warga sipil yang ditandatangani oleh pihak-pihak yang bertikai pada 2023 di bawah mediasi Amerika Serikat (AS) dan Arab Saudi.

"Deklarasi Jeddah terus diulang oleh para diplomat, khususnya di Dewan Keamanan, sebagai sesuatu yang harus kembali ditegakkan. Lockyear mengatakan bahwa komunitas internasional perlu bergerak lebih jauh dan diperlukan kesepakatan baru untuk Sudan," kata Elizondo, melaporkan dari PBB di New York.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Fatimah
EditorFatimah
Follow Us