Koalisi Sipil Kecam Praktik Teror terhadap Masyarakat yang Kritik TNI

- Koalisi Sipil mengecam praktik teror terhadap warga yang mengkritisi TNI
- Kritik merupakan bagian sah dari partisipasi publik dalam negara demokratis
Jakarta, IDN Times - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengecam praktik teror yang dialami masyarakat usai mengkritisi TNI.
Hal tersebut disampaikan menyusul terjadinya dugaan intimidasi dan teror terhadap YF usai membuat tulisan opini berjudul “Jenderal di Jabatan Sipil: Di Mana Merit ASN?” yang tayang pada Kamis, 22 Mei 2025 di media detik.com. Artikel itu berisi kritik atas pengangkatan Letjen Djaka Budi Utama sebagai Dirjen Bea Cukai yang dinilai melanggar meritokrasi di lingkungan ASN.
Koalisi ini terdiri dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yakni Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, LBH Pers, LBH Masyarakat, LBH Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), dan De Jure.
"Koalisi mengecam keras tindakan teror dan intimidasi terhadap warga negara yang menyampaikan kritik atas kebijakan negara, khususnya terkait peran dan posisi militer dalam kehidupan sipil," kata mereka dalam keterangan tertulis, Sabtu (24/5/2025).
1. Kritik sah dilakukan di negara demokrasi dan dilindungi konstitusi

Koalisi Masyarakat Sipil menilai, dalam negara demokratis dan berdasarkan prinsip negara hukum, kritik merupakan bagian sah dari partisipasi publik yang dilindungi konstitusi.
Tindakan kekerasan terhadap warga sipil hanya karena menyampaikan kritik adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan ancaman serius terhadap kebebasan berekspresi.
2. Berbagai insiden teror terjadi sejak gelombang penolakan terhadap revisi UU TNI

Mereka menyoroti peristiwa teror seperti yang dialami YF bukanlah kejadian tunggal, melainkan bagian dari pola kekerasan berulang yang muncul sejak gelombang penolakan terhadap Revisi Undang-Undang TNI bergulir.
"Dalam dua bulan terakhir, kami mencatat sejumlah insiden teror berupa, pengintaian, intimidasi, serta serangan fisik dan digital yang dialami oleh akademisi, aktivis, jurnalis, mahasiswa dan warga sipil yang menyampaikan pandangan kritis terhadap keterlibatan TNI dalam urusan sipil," ujar mereka.
Koalisi Masyarakat Sipil mencatat, sebelum peristiwa penghapusan tulisan YF ini, terdapat berbagai macam teror dan intimidasi yang menyasar berbagai kalangan dalam konteks kritik terhadap pelibatan TNI dalam ruang sipil, antara lain:
1. Intimidasi TNI dalam diskusi mahasiswa berkaitan penolakan RUU TNI di Universitas Udayana, UIN Wali Songo, Universitas Indonesia;
2. Pengiriman kepala babi dan bangkai tikus yang ditujukan kepada para jurnalis Tempo;
3. Serangan terhadap pembela HAM berupa ancaman fisik dan kriminalisasi terhadap Andri Yunus dan Javier yang menginterupsi rapat tertutup DPR di Hotel Fairmont;
4. Teror yang menyasar kantor KontraS pascamembongkar adanya rapat tertutup di Hotel Fairmont yang dilakukan DPR untuk membahas Revisi UU TNI;
5. Intimidasi dalam bentuk pengintaian yang menyasar kantor KontraS pasca Pengesahan UU TNI
6. Intimidasi yang ditujukan bagi mahasiswa UII yang menjadi pemohon judicial review UU TNI di MK.
3. Pemerintah dan aparat penegak hukum justru mengabaikan

Lebih lanjut, Koalisi Masyarakat Sipil memandang, tindakan pembiaran terhadap pola kekerasan tanpa penyelidikan menyeluruh, akuntabilitas, dan pemulihan korban adalah bentuk pengabaian tanggung jawab konstitusional oleh pemerintah dan aparat penegak hukum.
Mereka menilai, tindakan-tindakan teror ini sangat berkaitan dengan sikap kritis masyarakat sipil terhadap rencana atau kebijakan yang membuka ruang kembalinya praktik dwifungsi militer, sebagaimana terlihat dalam revisi UU TNI, Perpres 66/2025 tentang pelibatan militer di kejaksaan, dan penempatan perwira aktif di jabatan sipil.
Kritik terhadap kebijakan tersebut harus dianggap bukan sebagai ancaman, melainkan alarm demokrasi yang wajib didengar dan ditanggapi secara substantif, bukan dibungkam melalui kekerasan.