Koalisi Sipil: Sandera RUU PPRT Sama dengan Abaikan Rakyat

- Jaringan masyarakat sipil mendesak RUU PPRT disahkan agar PRT mendapatkan perlindungan hukum yang layak
- RUU PPRT telah berada di DPR selama 20 tahun tanpa disahkan, sementara kasus kekerasan terhadap PRT masih belum mendapat perlindungan hukum
- Koordinator Pelayanan Hukum LBH Apik Jakarta menerima 13 aduan kasus kekerasan kepada PRT sejak 2022, dan menekankan pentingnya payung hukum bagi korban
Jakarta, IDN Times - Jaringan masyarakat sipil menyuarakan desakan agar Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) bisa segera disahkan.
Perwakilan Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Jumisih mendorong Ketua DPR RI, Puan Maharani bisa segera membahas dan mengesahkan RUU PPRT menjadi undang-undang.
Menurutnya, jika Puan masih terus menyandera rancangan beleid ini, maka sama saja dengan tak memberi perhatian pada rakyatnya karena PRT bagian dari rakyat Indonesia.
“Apa yang terjadi jika pemerintah atau DPR, dalam hal ini adalah Mbak Puan Maharani sebagai pihak yang mempunyai posisi strategis untuk mengambil keputusan, jika Mbak Puan tetap menyandera rancangan undang-undang ini tidak dalam pembahasan dan tidak dalam pengesahan? Itu sama dengan negara atau pemerintah tidak memberi perhatian kepada rakyatnya dan PRT adalah bagian dari rakyatnya,” kata dia dalam Konferensi Pers JMS Kebijakan Adil Gender "Puan Menyandera Sarinah, Sahkan RUU PPRT" Senin (22/7/2024).
1. Belum ada hukum khusus yang bisa dijadikan acuan secara nasional

Dia mengatakan, Indonesia sebagai negara hukum seharusnya memberikan perlindungan pada semua pihak termasuk PRT. Sebab, belum ada aturan yang bisa dijadikan acuan secara nasional untuk menangani kasus kekerasan terhadap PRT.
“Kita juga tahu bahwa kita sebagai negara hukum itu, artinya semua warga negara termasuk PRT itu berhak atas perlindungan hukum. Sampai dengan hari ini apa yang terjadi pada teman-teman PRT belum mendapatkan perlindungan hukum dan belum ada hukum atau undang-undang khusus yang bisa dijadikan acuan secara nasional,” katanya.
2. Kasus kekerasan kerap diselesaikan dengan mediasi

Sementara itu, Koordinator Pelayanan Hukum LBH Apik Jakarta sekaligus anggota JMS Kebijakan Adil Gender, Uli Pangaribuan, mengatakan, pihaknya menerima 13 aduan kasus kekerasan kepada PRT sejak 2022.
Dalam penanganannya, tak jarang berakhir dengan cara mediasi sehingga payung hukum bagi korban sangat penting.
“Aparat penegak hukum juga memfasilitasi untuk dilakukan penyelesaian secara mediasi tadi,” kata dia.
3. Dorongan pengesahan di sisa waktu periode legislatif saat ini

RUU PPRT sudah 20 tahun berada di DPR dan belum disahkan sejak diajukan pada 2004. Rancangan ini keluar masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR.
Sebelumnya, empat Lembaga Nasional HAM, yaitu Komnas Perempuan, Komnas HAM, KPAI, dan KND mendorong RUU PPRT bisa segera disahkan DPR.
Ketentuan dalam undang-undang pembentukan perundang-undangan, jika tak ada satu nomor DIM yang disepakati pada sisa waktu periode legislatif saat ini, maka RUU PPRT dikategorikan sebagai RUU noncarry over.
Artinya, RUU PPRT harus dimulai kembali kepada tahap perencanaan pada periode DPR RI 2024-2029.
Oleh karena itu, pihaknya mendorong agar pembahasan dipercepat untuk mencegah RUU PPRT kembali ke tahapan awal.