Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Komnas Perempuan: KUHP Masih Hambat Pelaksanaan UU TPKS

Mahasiswa bongkar kawat berduri dan panjat pagar gedung DRP. (IDN Times/Yosafat Diva)

Jakarta, IDN Times - Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyampaikan revisi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kontradiktif dan masih jadi penghambat pelaksanaan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Muatan revisi KUHP yang kontradiktif jadi cerminan kondisi politik makro Indonesia yang masih belum terkonsolidasi pada upaya pemenuhan dan penegakan HAM.

"Revisi KUHP juga masih memuat sejumlah persoalan mendasar lain yang dapat menghambat pemajuan hak asasi manusia dengan kerugian yang spesifik bagi perempuan," tulis Komnas Perempuan dalam Laporan Kerja Komnas Perempuan Tahun 2022, Kamis (13/4/2023). 

1. Aturan soal pencabulan yang sumir

ilustrasi Pelecehan Seksual (IDN Times/Aditya Pratama)

Terdapat aturan soal pencabulan yang sumir dan gampang tumpang tindih dengan pelecehan seksual. Hal ini tidak ada perbaikan pada definisi pornografi yang memungkinkan kriminalisasi atas korban eksploitasi seksual.

Kemudian, yang juga jadi sorotan Komnas Perempuan adalah soal tidak diaturnya tindak pidana perampasan kemerdekaan untuk tujuan penguasaan dalam perkawinan yang sebetulnya merupakan tindak pemaksaan perkawinan dan tindak pidana kekerasan seksual. Serta adanya pengurangan hukuman pada tindak pidana kekerasan seksual pada anak

2. Perluasan pasal zina terhadap pasangan lajang

Andy Yentriyani, Komisioner Komnas Perempuan dalam Acara Laporan Kerja Komnas Perempuan 2022 yang diadakan pada Kamis (13/4/2023). (IDN Times/Uni Lubis)

Terkait pemberlakuan living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini juga dikhawatirkan makin menempatkan perempuan dalam posisi rentan kekerasan, juga terhalang haknya atas keadilan dan pemulihan mengingat kondisi masyarakat Indonesia yang patriarkis.

"Dalam Revisi KUHP juga terdapat perluasan pasal zina terhadap pasangan lajang dan memperluas pihak yang dapat mengadukan kepada keluarga batih selain pasangan resmi dalam perkawinan dan pemidanaan kohibitasi atau tinggal bersama seperti pasangan masyarakat yang ditengarai menggerus hak privasi dan otonomi perempuan," tulis Komnas Perempuan.

Hal lain yang disoroti adalah kriminalisasi berlebihan terhadap hak atas pengetahuan tentang kesehatan seksual dan reproduksi. 

3. Perluasan definisi zina, larangan kohibitasi dan kriminalisasi berlebihan pada isu pendidikan

Pemerintah menggelar rapat dengan Panitia Kerja RUU TPKS, di Jakarta (1/4) (Dok. KemenPPPA)

Selain itu, muatan revisi KUHP khususnya terkait perluasan definisi zina, larangan kohibitasi dan kriminalisasi berlebihan pada isu pendidikan reproduksi juga disebut memperlihatkan bagaimana isu agama masih digunakan untuk pertarungan kuasa.

"Baik oleh elite politik yang bersifat pragmatis maupun yang mengusung keinginan agar Indonesia memberikan preferensi pada agama mayoritas (Islam) secara eksplisit dalam perumusan hukum," ungkap Komnas Perempuan.

4. Adanya berbagai kebijakan yang diskriminatif

ilustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Komnas Perempuan juga menyoroti adanya kebijakan diskriminatif pada 2022. Pada 2022 angka ini turun menjadi 305 kasus dari sebelumnya 412 kasus pada 2016.

"Tetapi tetap sekurangnya ada 35 daerah baru yang menerbitkan kebijakan diskriminatif serupa di tahun 2021 dan 20 lainnya di tahun 2022," tulis Komnas Perempuan.

5. Manfaat positif dalam muatan RKUHP

Ilustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Meski demikian, tak seluruh revisi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi batu sandungan bagi UU TPKS. Komnas Perempuan melihat kemanfaatan lainnya 

Revisi KUHP menempatkan isu kekerasan seksual pada norma kejahatan pada tubuh, mengoreksi yang sebelumnya ditempatkan sebagai kejahatan kesusilaan, juga memuat definisi progresif perkosaan, menegaskan jaminan untuk menghentikan kehamilan yang tidak diinginkan oleh korban kekerasan seksual.

Beleid ini juga memuat pengurangan pidana perempuan yang menghilangkan nyawa atau menelantarkan bayinya. Serta pembatalam pasal 27 UU ITE yang rentan mengkriminalkan korban kekerasan seksual. Revisi KUHP juga memuat kepastian bahwa semua tindak kekerasan seksual yang diatur di dalam UU tersebut merujuk pada UU TPKS dalam penanganannya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Lia Hutasoit
Dwifantya Aquina
Lia Hutasoit
EditorLia Hutasoit
Follow Us