Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pasal Zina dan Kumpul Kebo di RKUHP Berpotensi Langgengkan Persekusi

Ilustrasi kekerasan pada perempuan dan anak. (IDN Times/Nathan Manaloe)

Jakarta, IDN Times - Pakar Hukum dan Tata Negara, Bivitri Susanti, mengatakan, pasal perzinahan dan kohabitasi atau kumpul kebo dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) berpotensi melanggengkan persekusi.

Menurut dia, masyarakat Indonesia hidup dalam berbagai macam norma, tak hanya hukum tetapi juga norma kesusilaan, agama, kesopanan, dan lainnya.

"Norma hukum apalagi hukum pidana karena ancaman badan bisa dipenjara, bisa denda, itu seharusnya diberlakukan, istilahnya ultimum remedium. Jadi cara mengatasi yang paling maksimal kalau semua sudah gak bisa lagi, baru kita kasih sanksi pidana," kata Bivitri saat berbincang dalam diskusi daring "Ngobrol Seru: Kupas Tuntas RKUHP" by IDN Times, Selasa (12/7/2022).

1. Cara kerja hukum pidana bukan agar orang tak lakukan sesuatu

Ngobrol Seru “Kupas Tuntas RKUHP” bersama Pakar Hukum dan Tata Negara, Bivitri Susanti (IDN Times/Lia Hutasoit)

Bivitri mengatakan, sanksi pidana dijadikan cara yang paling maksimal jika hukuman lainnya tak bisa dilakukan. Dalam konteks perzinahan, kata dia, bukan berarti semua perilaku yang tak disukai dibuatkan pasal pidananya.

"Biar orang tidak melakukan itu, bukan begitu cara merumuskan hukum pidana," ujarnya.

Menurut dia, perlu dilihat apakah perilaku yang terjadi menggangu ketertiban umum atau tidak. Apalagi di dalam hukum terdapat hukum privat dan publik, sedangkan hukum terkait kumpul kebo tersebut ada di dalam hukum privat.

2. Hukum privat tak bisa dipindahkan ke hukum publik

ilustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Hukum privat, kata dia, tidak bisa begitu saja dipindahkan ke wilayah hukum publik. Sebab nantinya bisa ada kesalahan dalam penghukuman.

"Kalau orang mau mengukum, dalam hukum pidana itu jangan sampai kita menghukum satu orang yang tidak bersalah. Lebih baik tidak menghukum orang yang bersalah, daripada kita menghukum satu orang yang sebenarnya tidak bersalah," ujar dia.

3. Tidak semua hal yang tak pantas diperlakukan dengan hukum pidana

Ilustrasi diborgol-tersangka (IDN Times/Bagus F)

Bivitri mengatakan, yang menjadi masalah jika ada aturan seperti itu adalah kemungkinan timbulnya asusmsi bahwa perbuatan tersebut melanggar hukum dan bisa menyerang orang lain.

Walau dalam detail Pasal 415 dan 416, hukum yang diterapkan berdasarkan pada delik aduan orang tertentu seperti orangtua. Namun detail yang banyak itu, kata dia, bisa berpotensi persekusi.

"Cara memandang perilaku-perilaku yang kita pandang tidak pantas, tidak harus melalui pidana. Banyak cara lain kalau dipidanakan akhirnya yang muncul adalah ekses-ekses negatif, unintended consequences yang bisa muncul di lapangan," kata dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Lia Hutasoit
Deti Mega Purnamasari
Lia Hutasoit
EditorLia Hutasoit
Follow Us