Peneliti ICW Kena Doxing usai Komentari Jokowi Jadi Pemimpin Korup

- ICW mengecam doxing terhadap peneliti yang mengkritik Jokowi
- Peneliti ICW mendesak penegak hukum untuk menyelidiki pemilik akun anonim yang melakukan intimidasi
Jakarta, IDN Times - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengecam aksi doxing atau pengungkapan data-data pribadi terhadap salah satu penelitinya. Aksi doxing itu terjadi usai peneliti ICW itu menyampaikan pandangannya terkait masuknya nama Presiden ke-7, Joko "Jokowi" Widodo sebagai salah satu pemimpin dunia yang korup oleh lembaga Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP).
Data-data pribadi yang disebar ke ruang publik mulai dari nomor telepon, Kartu Tanda Penduduk (KTP), alamat tinggal, spesifikasi gawai telepon yang digunakan hingga titik koordinat lokasi terakhir peneliti ICW tersebut. Semua data itu diunggah di akun Instagaram @volt_anonym pada 3 Januari 2025 lalu.
"Doxing tersebut patut dilihat sebagai bagian dari upaya pembungkaman dan pembatasan suara kritis publik. Selain itu, aksi doxing melanggar ketentuan perlindungan data pribadi yang diatur di dalam pasal 65 ayat 1 dan 2 UU nomor 27 tahun 2002 dan membahayakan keselamatan korban doxing," ujar peneliti ICW, Egi Primayogha dalam keterangan tertulis, Jumat (3/1/2025).
Ia menambahkan, kejadian doxing data pribadi bukan kali pertama dialami oleh pihak yang menyampaikan kritik kepada negara. ICW pun menduga pelaku yang melakukan doxing memiliki akses atau bertanggung jawab untuk melindungi data-data pribadi warga.
"ICW mengkhawatirkan bahwa doxing atau serangan digital akibat penominasian Jokowi di OCCRP tidak hanya dialami oleh peneliti kami. Tetapi, juga akan dialami oleh kelompok yang bersuara kritis," tutur dia.
1. Masuknya nama Jokowi jadi alarm agar segera membenahi pemberantasan korupsi

Egi menuturkan, masuknya nama Jokowi ke dalam daftar nominasi pemimpin paling korup di dunia, seharusnya dijadikan alarm untuk membenahi upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air. Bukan malah menyerang pihak yang turut menyampaikan pendapat atas penominasian tersebut.
"Tidak dapat dimungkiri bahwa telah terjadi kemunduran dalam pemberantasan korupsi hingga demokrasi di era kepemimpinan Jokowi. Hal itu bisa terlihat dari terjadinya pengerdilan terhadap KPK dalam berbagai aspek," kata Egi.
Indikasi lain pemberantasan korupsi semakin mundur, yakni Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia kembali terjun ke skor 10 tahun lalu. "Tata hukum antikorupsi mengalami kemunduran dan menguatnya politik dinasti," imbuhnya.
2. ICW dorong aparat penegak hukum proaktif selidiki aksi doxing terhadap penelitinya

ICW, kata Egi, mendesak agar penegak hukum dapat bersikap proaktif untuk menyelidiki pemilik akun anonim yang secara nyata telah melakukan intimidasi terhadap penelitinya. Di dalam pandangannya, peneliti ICW yang menjadi korban doxing itu mengatakan, OCCRP memiliki alasan jelas untuk memasukan Wali Kota Solo tersebut ke dalam daftar nominasi pemimpin paling korup 2024.
Peneliti ICW itu menyebut selama satu dekade berkuasa, Jokowi kerap menggunakan hukum sebagai alat untuk melegitimasi hasrat kekuasaannya. Dugaan penggunaan hukum untuk melegitimasi itu disebut oleh sejumlah ahli sebagai otocratic legalism.
Ia menyebut, ada dua alasan yang mendukung argumentasi ini. Pertama, berkaitan dengan disorganisasi politik hukum penguatan pemberantasan korupsi. Kedua, berkaitan dengan manipulasi pemilu 2024.
3. OCCRP akui nama Jokowi masuk nominasi karena dapat banyak voting

Sementara, OCCRP buka suara soal masuknya nama Presiden Jokowi ke dalam daftar nominasi pemimpin paling korup 2024.
Salah satu pendiri OCCRP, Drew Sullivan menjelaskan, nama Jokowi bisa masuk ke dalam daftar nominasi finalis karena mendapatkan dukungan terbanyak dari dunia maya. Selain itu, ada dasar yang kuat mengapa namanya bisa masuk ke dalam daftar nominasi.
"OCCRP tak memiliki bukti bahwa Jokowi terlibat dalam tindak pidana korupsi dengan memperkaya dirinya sendiri selama menjabat. Tetapi, kelompok masyarakat sipil dan para ahli mengatakan pemerintahan Jokowi secara signifikan melemahkan komisi antikorupsi Indonesia," ujar Sullivan, dikutip dari situs resmi OCCRP, Jumat kemarin.
Jokowi, kata Sullivan, dikritik secara luas karena telah membahayakan proses pemilu di Indonesia dan institusi peradilan. Itu semua, kata dia, dilakukan semata-mata untuk menguntungkan ambisi politiknya demi menempatkan putranya menjadi wakil presiden.
Sullivan yang notabene merupakan jurnalis investigasi veteran menambahkan, organisasi yang ia dirikan tak memiliki kendali siapa saja nama-nama yang dinominasikan. Sebab, nama-nama pemimpin yang korup dinominasikan dari seluruh dunia.
"Hal serupa juga berlaku bagi mantan Presiden Indonesia, Jokowi," ucapnya.
Keterangan resmi dari OCCRP ini seolah membenarkan persepsi yang disampaikan oleh para pendukung Jokowi bahwa namanya bisa masuk ke dalam daftar nominasi karena dinominasikan oleh banyak orang di dunia maya. Bahkan, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyatakan, nominasi yang dirilis oleh OCCRP merupakan medium bagi barisan kelompok sakit hati yang kalah dalam Pemilu 2024.