PSI Soroti Kasus Perjokian Guru Besar di Berbagai Kampus

Jakarta, IDN Times - Juru Bicara sekaligus Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Solidaritas Indonesia (DPP PSI), Furqan AMC, mengkritik keras fenomena perjokian untuk mendapatkan gelar Guru Besar di berbagai kampus. Ia menyebut, hal tersebut justru membuat kerdil status Guru Besar.
"Perjokian telah mendegradasi marwah Guru Besar. Budaya palsu, membuat Guru Besar menjadi kerdil. Indonesia tidak butuh Guru Besar yang kerdil," tegas Furqan AMC, dalam keterangan tertulis, Senin (13/2/2023).
1. Perjokian Guru Besar masif terjadi di berbagai kampus

Furqan mengatakan, modus perjokian ini masif terjadi di berbagai kampus baik negeri maupun swasta. Karena itu, kata dia, fenomena ini tidak bisa direspon semata kasuistik, orang per orang, namun harus disikapi secara komprehensif.
"Lebih parahnya modus perjokian guru besar tersebut terjadi masif dan sistematis di berbagai kampus baik negeri maupun swasta sebagaimana temuan investigasi sebuah media nasional," tandasnya.
2. Budaya palsu dikhawatirkan mewabah

Lebih lanjut, Furqan mengungkapan bahwa dia sangat khawatir budaya palsu tersebut akan mewabah dan masyarakat jadi permisif, apabila Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tidak membenahi kasus tersebut dengan serius.
Bahkan, kata Furqan, secara sublimatif bisa memicu semakin berkembang biaknya budaya korupsi di segala bidang.
"Kapitalisme telah membuat pendidikan menjadi industri. Tujuan mulianya untuk mencetak sumber daya manusia bermutu, telah ditelikung menjadi sekedar reproduksi status demi penetrasi pasar," ujarnya.
3. Perjokian diduga untuk mendongkrak akreditasi kampus

Kemudian, Furqan mengatakan, jika untuk guru besar saja jamak terjadi modus perjokian, maka tidak terbayangkan bagaimana skripsi di strata satu untuk mendapatkan gelar sarjana.
Praktek perjokian di dunia akademik tersebut melibatkan pejabat struktural (petinggi) kampus, calon guru besar, dosen hingga mahasiswa. Hal itu diduga untuk mendongkrak angka kredit dan meningkatkan akreditasi kampus.
Pemerintah dikabarkan telah menolak 4.862 atau 64 persen calon guru besar dari 7.598 calon dengan berbagai alasan. Di antaranya karena karya ilmiah yang dilampirkan sebagai syarat pencalonan terbit di jurnal yang tidak berkualitas dan relevansi keilmuan yang tidak cocok. Bahkan, yang lebih parahnya, ditemukan indikasi pelanggaran etika akademik.