Puskapa UI Usulkan RUU TPKS Implementasikan 4 Hal Ini

Jakarta, IDN Times - Pembahasan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) hingga saat ini masih dilakukan. Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Universitas Indonesia (UI) menjelaskan, ada empat hal yang perlu dilakukan atau diimplementasikan sembari RUU TPKS ini disusun.
Pertama adalah penyusunan dan penyesuaian kebijakan lain terkait dengan perlindungan korban yang memastikan bahwa seluruh korban tidak ada yang diabaikan.
"Bisa mendapatkan dukungan dan hak atas pemulihan," kata Lead for Access to Justice Puskapa UI, Feri Sahputra dalam diskusi daring yang dilansir dari YouTube IJRS TV, Rabu (9/3/2022).
1. Perlu perkuat sistem perlindungan di daerah hingga masalah penganggaran

Selanjutnya, Puskapa UI mengatakan, harus ada yang memperkuat sistem perlindungan korban yang terpadu dan komprehensif di tingkat pusat dan daerah. Dia mengatakan bahwa kadang situasi di daerah kadang tidak diketahui secara pasti.
Ketiga adalah memastikan sistem penganggaran yang mendukung pelaksanaan perlindungan korban kekerasan seksual.
Feri juga mengatakan bahwa perlu ada peningkatan ketersediaan dan kapasitas sumber daya atau aparat, hingga pendamping yang akan mendampingi program agar lebih responsif serta sensitif gender.
"Keempatnya itu menjawab tantangan implementasi pemenuhan hak bagi korban seksual," kata dia.
2. Kebijakan perlindungan dan pemulihan korban tumpang tindih

Dari keempat implementasi itu, Feri juga berbicara tentang tantangan yang ada dalam pemenuhan hak korban kekerasan. Pertama, dia menjelaskan kebijakan perlindungan dan pemulihan korban yang belum komprehensif dan tumpang tindih.
Sebagai mana diketahui, mulai dari hak yang diatur setiap UU terbatas hanya untuk korban di ruang lingkup tertentu, pengaturan berbeda untuk hak yang sama, multitafsir peraturan hingga ketidakdaan pengaturan turunan yang jelas.
Selain itu, masalah sarana dan prasarana atau lembaga yang bertangung jawab atas perlindungan dan pemulihan juga belum berfungsi maksimal.
3. Hadapi tantangan anggaran tak responsif korban dan SDM tidak merata

Kemudian terkait anggaran, ketersediaan anggaran dan sistem pengelolaan anggaran, kata Feri, tidak responsif pada korban, salah satu yang dia soroti adalah ganti biaya transportasi korban atau sanki, hingga biaya pemulihan korban.
"Kemudian Orang Berhadapan dengan Hukum (OBH) juga dihadapkan dengan skema anggaran bantuan hukum yang dikelola Kemenkumham tidak memperhitungkan durasi perkara, yang kemungkinan bisa melebihi tahun anggaran berikutnya," kata dia.
Terakhir adalah soal SDM yang terbatas dan tidak merata, salah satunya psikologis klinis untuk korban yang terbatas di daerah terpencil.
Maka dari itu, Puspaka berpendapat sistem pemulihan dan perlindunfgn korban butuh perbaikan sistematis dan RUU TPKS ini berpeluang jadi bagian perbaikan tersebut.