Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

TNI Diusulkan Boleh Bisnis, Koalisi Masyarakat: Militer Dilatih Tempur

Ilustrasi prajurit TNI. (IDN Times/M.Idris)

Jakarta, IDN Times - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai usulan TNI mencabut pasal larangan berbisnis, dalam Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (RUU TNI), merupakan pandangan keliru. Selain itu, usulan tersebut juga mencerminkan kemunduran reformasi di tubuh TNI.

Usulan agar menghapus pasal larangan prajurit TNI berbisnis disampaikan kali pertama oleh Laksmana Muda Kresno Buntoro di forum dengar pendapat publik, terkait RUU TNI/Polri yang dihelat Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) pada 11 Juli 2024. Poin yang diusulkan dihapus ada dalam Pasal 39 huruf c. 

"Militer dididik, dilatih, dan dipersiapkan untuk perang. Hal itu merupakan raison d'etre (hakikat) militer di negara manapun. Tugas dan fungsi militer untuk menghadapi perang atau pertahanan merupakan tugas yang mulia," ujar Koalisi Masyarakat Sipil seperti dikutip dari keterangan tertulis, Senin (22/7/2024). 

Koalisi Masyarakat Sipil terdiri beberapa LSM seperti Imparsial, KontraS, Elsam, PBHI Nasional, Amnesty International Indonesia (AII), dan Setara Institute. Mereka menilai militer sejak awal seharusnya disiapkan secara profesional untuk menjaga kedaulatan negara. 

"Jadi tidak seharusnya militer berbisnis," kata mereka. 

1. Bila prajurit TNI dibolehkan berbisnis akan ganggu profesionalisme

Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto ketika menerima laporan korps kenaikan pangkat di Mabes TNI. (Dokumentasi Puspen TNI)

Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan bila prajurit TNI diperbolehkan berbisnis, maka bisa mengganggu profesionalismenya dan menurunkan kebanggaan sebagai seorang prajurit. Selain itu juga berdampak pada disorientasi tugasnya dalam menjaga keamanan negara. 

"Militer akan melemah dalam menjaga pertahanan dan kedaulatan negara, karena tugasnya bertambah jauh dari dimensi pertahanan dan keamanan," kata koalisi. 

Koalisi juga menyoroti anggaran pertahanan yang mencapai triliunan rupiah. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan per 2024, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) mendapatkan anggaran Rp139,27 triliun. Anggaran itu digunakan untuk pembelanjaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) seperti pesawat tempur, tank, kapal selam, kapal perang, hingga helikopter. 

"Anggaran itu sepenuhnya diperuntukan bagi prajurit untuk menyiapkan kapabilitas mereka dalam berperang, bukan kemudian untuk berbisnis dan berpolitik," ujar mereka. 

"Demikian besar anggaran negara yang berasal dari pajak rakyat ditujukan agar tentara bisa profesional dalam bidangnya menjaga pertahanan. Bukan untuk berbisnis dan berpolitik," imbuh Koalisi Masyarakat Sipil. 

2. Penghapusan larangan berbisnis di UU TNI bisa melegalkan praktik bisnis keamanan

Presiden Joko "Jokowi" Widodo ketika melakukan inspeksi jajaran pasukan saat upacara HUT TNI di Lanud Perdanakusuma, Jakarta Timur pada 2019. (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Hal lain yang menjadi kekhawatiran Koalisi Masyarakat Sipil yaitu dengan penghapusan pasal tersebut, malah bisa melegalkan praktik bisnis keamanan yang selama ini sudah terjadi di lapangan, khususnya di bidang sumber daya alam. 

"Sebut saja seperti pengamanan di PT Freeport Indonesia, pengamanan PT Dairi Prima Mineral di Sumatra Utara, pengamanan PT Inexco, Jaya Makmur di Sumatra Barat hingga pengamanan PT Duta Palma di Kalimantan Barat," sebut koalisi. 

Belum termasuk keterlibatan dalam perampasan tanah adat di sejumlah lokasi. Dua di antaranya adalah Bendungan Bener di Wadas pada 2021 dan PSN (Proyek Strategis Nasional) Rempang Eco City, Batam pada 2023. 

Koalisi juga mencontohkan temuan penelitian mereka di Intan Jaya pada 2021. Dalam penelitian berjudul Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya, ditemukan adanya hubungan, baik secara langsung maupun tidak, mengenai penambahan prajurit TNI di Intan Jaya dengan pengamanan perusahaan-perusahaan di sana. 

"Praktik pengamanan ini menurut catatan Koalisi Masyarakat Sipil akan meletakan prajurit TNI berhadapan secara langsung dengan masyarakat yang sedang bersengketa dengan perusahaan. Tidak jarang praktik pengamanan itu menimbulkan kekerasan," kata mereka. 

3. Prajurit yang dibolehkan berbisnis dalam konteks untuk membantu ekonomi keluarga

Kababinkum TNI, Laksamana Muda, Kresno Bintoro. (Dokumentasi Puspen TNI)

Sementara, Kepala Badan Pembinaan Hukum di Mabes TNI Laksamana Muda Kresno Buntoro mengatakan, prajurit TNI boleh berbisnis dalam konteks pekerjaan sampingan yang mereka lakukan selepas jam kerja atau pada akhir pekan. Tujuan aktivitas bisnis itu untuk membantu perekonomian keluarga. 

"Kalau yang dikhawatirkan adalah bisnis dalam konteks besar, contohnya anggota TNI tidak masuk kerja karena melakukan bisnis, bukan seperti itu. Sebetulnya, konteks bisnis itu dilakukan sehabis kerja atau libur. Contoh di Sabtu dan Minggu," ujar Kresno kepada media pada 18 Juli 2024. 

Kresno meminta publik agar tidak membayangkan bila larangan berbisnis bagi prajurit TNI dihapus, maka mereka bisa ikut terlibat dalam aktivitas perusahaan terbatas (PT). "Di dalam sistem kegiatan dinas TNI sudah jelas, masuk jam 07.00 pulang jam 16.00 atau jam 15.00. Ada sistemnya. Jadi tidak mungkin kegiatan bisnis TNI ini berakibat pada profesionalisme," katanya.

Menurut Kresno, usulan penghapusan larangan prajurit TNI berbisnis diklaim datang dari prajurit pangkat bawah. Lalu, coba diakomodir pimpinan.

"Karena kenyataannya di lapangan seperti itu," imbuhnya. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
Rochmanudin Wijaya
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Follow Us