Tolak Hak Cuti Melahirkan, Eks PJLP Pemprov DKI Gugat Kadisnaker

- Mantan pekerja PJLP gugat Kepala Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta ke PTUN
- Gugatan terkait penolakan hak cuti melahirkan dan keguguran bagi pekerja perempuan
Jakarta, IDN Times - Seorang mantan pekerja perempuan berstatus PJLP (Penyedia Jasa Lainnya Perorangan) di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggugat Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Provinsi DKI Jakarta ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Gugatan yang teregister dengan nomor 115/G/2025/PTUN.JKT tertanggal 8 April 2025 ini diajukan oleh EW, melalui kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Perempuan dan Anak Republik Indonesia (LBH P&A RI).
Objek gugatan adalah Keputusan Dinas Tenaga Kerja Nomor e-0250/KT.03.03 tertanggal 20 Februari 2025 yang ditandatangani oleh Dr. Ir. Hari Nugroho, MM selaku Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi Provinsi DKI Jakarta yang menolak pengakuan atas hak cuti melahirkan dan cuti keguguran bagi pekerja PJLP.
1. Keputusan diskriminatif

Paulus Alfret salah satu kuasa hukum penggugat mengatakanm keputusan tersebut tidak hanya diskriminatif dan merugikan hak pekerja perempuan, tetapi juga didasarkan pada Peraturan Gubernur DKI Jakarta yang sejatinya telah dicabut, namun tetap dijadikan dasar hukum oleh Tergugat.
Hal ini dinilai sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan administratif dan pelanggaran terhadap asas kepastian hukum.
“Ini sangat ironis. Pergub yang jadi dasar keputusan sudah tidak berlaku, tapi masih dijadikan rujukan untuk menolak hak cuti yang bersifat kodrati dan dilindungi undang-undang," katanya.
2. Tidak ciptakan kepastian hukum

Dia menilai, Pemprov DKI tidak bisa menciptakan kepastian hukum serta membuat diskriminasi.
"Negara dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta ikut andil dalam menciptakan ketidakpastian hukum dan diskriminasi struktural,” ujar Paulus.
3. Kebijakan administratif salah arah

Dalam dokumen gugatan, tim hukum menekankan keputusan tersebut memenuhi unsur Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 9 UU Nomor 51 Tahun 2009 karena bersifat individual, konkret, final, dan menimbulkan akibat hukum langsung bagi Penggugat.
Oleh karena itu, PTUN Jakarta secara yuridis memiliki kewenangan untuk menyatakan keputusan tersebut adalah KTUN yang sah untuk diperiksa dan dibatalkan.
“Langkah hukum ini adalah bentuk koreksi terhadap kebijakan administratif yang tidak hanya salah arah, tetapi juga melanggar hak asasi. Kami mendesak PTUN untuk menyatakan bahwa keputusan ini adalah KTUN yang batal demi hukum, dan memerintahkan pencabutannya demi keadilan,” ujar Paulus.
4. Sidang akan digelar di PTUN

Selain itu, tim hukum LBH P&A RI meminta agar PTUN juga mempertimbangkan peraturan yang lebih rendah (Pergub) tidak dapat membatalkan hak normatif yang dijamin Undang-Undang, sebagaimana prinsip lex superior derogat legi inferiori.
Dengan begitu, gugatan ini bukan hanya bertujuan mengoreksi satu keputusan administratif, tetapi juga mengembalikan hak konstitusional dan martabat pekerja perempuan yang selama ini diabaikan oleh struktur birokrasi.
Sidang perkara ini akan digelar dalam waktu dekat di PTUN Jakarta. Gugatan ini dipandang sebagai langkah penting dalam membela hak-hak pekerja non-ASN di lingkungan pemerintahan yang kerap terpinggirkan, khususnya para perempuan PJLP.