Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

UU Kementerian Digugat, Soroti Banyak Menteri Rangkap Jabatan Parpol

Kegiatan retreat Kabinet Merah Putih di Akmil Magelang, Jawa Tengah, 24-27 Oktober 2024. (Dok. Puspen TNI)
Intinya sih...
  • Mahasiswa UI gugat Pasal 23 UU Kementerian Negara ke MK.
  • Penyorotan pada peningkatan menteri rangkap jabatan dengan pengurus parpol sejak era SBY.
  • Komposisi menteri dari kabinet era SBY hingga Prabowo dan dampaknya terhadap koalisi politik.

Jakarta, IDN Times - Sejumlah mahasiswa Universitas Indonesia (UI) melayangkan gugatan terhadap Pasal 23 huruf c Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Gugatan berupa uji materi itu dilayangkan agar pasal itu mengatur secara tegas mengenai larangan menteri rangkap jabatan dengan pengurus partai politik.

1. Soroti peningkatan jumlah menteri yang rangkap jabatan jadi pengurus parpol

Para menteri dan kepala lembaga di Kabinet Merah Putih mengikuti pengarahan dalam kegiatan retreat di Akademi Militer, Magelang pada Jumat (25/10/2024). (IDN Times/Aditya Mustaqim)

Pemohon secara khusus menyoroti terjadinya peningkatan jumlah menteri yang rangkap jabatan jadi pengurus parpol.

Mereka mengatakan, pernormalisasian menteri dari pengurus parpol itu terjadi sejak era Presiden Keenam RI, Bambang Susilo Yudhoyono (SBY). Kemudian, fenomena ini semakin subur di era Presiden Ketujuh RI, Joko Widodo dan Presiden RI saat ini, Prabowo Subianto.

"Bahwa Para Pemohon menemukan fakta telah terjadi penormalisasian praktik pragmatisme parpol yang mulai terbangun sejak masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang dibuktikan dengan banyaknya menteri yang merangkap jabatan sebagai pengurus parpol," demikian bunyi permohonan Pemohon.

Pemohon memaparkan, di era SBY ada enam menteri yang berasal dari pengurus parpol. Lalu di rezim Jokowi tercatat ada sembilan menteri dan saat ini di pemerintahan Prabowo terdapat 8 menteri.

Pemohon pun beranggapan, penambahan angka pengurus parpol yang menjadi menteri mencerminkan adanya kompromi politik antara presiden terpilih dengan partai pengusulnya untuk menggaet dukungan legislatif yang kuat bagi pemerintahannya. 

"Tindakan tersebut juga mencerminkan pengabaian terhadap semangat dari penjelasan umum UU KN Tahun 2008 merupakan amanat dari Pasal 17 ayat (3) dan Pasal 17 ayat (4) UUD NRI 1945," ujar Pemohon.

"Selain itu, tindakan pengabaian dan penormalisasian akan pelanggaran terhadap semangat dari penjelasan umum UU KN Tahun 2008 menunjukkan bahwa telah terlanggarnya hak konstitusional Para Pemohon, yakni hak akan kepastian hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945," lanjutnya.

2. Perbandingan komposisi menteri dari profesional dan partai politik

Silaturahmi Koalisi Indonesia Maju di kediaman Prabowo di Hambalang, Bogor (dok. Tim Media Prabowo)

Pemohon juga memaparkan komposisi menteri dari kabinet era SBY, Jokowi, hingga Prabowo. Didapati bahwa menteri dari kalangan parpol lebih banyak mendominasi kabinet.

Pada Kabinet Indonesia Bersatu I era SBY (2004–2009), terdapat 34 menteri, di mana 18 berasal dari parpol dan 16 dari kalangan profesional. Golkar, yang awalnya tidak mengusung SBY sebagai calon presiden, akhirnya masuk koalisi setelah calon mereka kalah, sehingga Aburizal Bakrie, pimpinan Partai Golkar, diangkat sebagai menteri.

Kemudian masih di era SBY, Kabinet Indonesia Bersatu II (2009–2014), jumlah menteri tetap 34 orang. Namun, dengan komposisi, 21 menteri dari parpol dan 13 profesional. Pertimbangan SBY pada periode ini adalah untuk menjaga stabilitas politik yang lebih kuat dengan memperbesar peran parpol dalam kabinet.

Selanjutnya, di era Jokowi pada Kabinet Kerja (2014–2019) terdapat 34 menteri, dengan 14 dari parpol dan 20 dari kalangan profesional. Jokowi menekankan pentingnya profesionalisme dalam kabinetnya sembari menjaga dukungan dari partai koalisi.

Namun konsistensi Jokowi banyak mengangkat menteri dari kalangan profesional tidak dilanjutkan di periode kedua pada Kabinet Indonesia Maju (2019–2024). Dengan komposisi, jumlah menteri tetap 34, tetapi komposisi berubah menjadi 18 dari parpol dan 16 profesional.

Pada periode ini, terjadi fenomena menarik ketika Prabowo Subianto, yang sebelumnya menjadi rival Jokowi dalam pemilu, bergabung dalam koalisi pemerintahan dan diangkat sebagai Menteri Pertahanan, mencerminkan adanya kompromi politik untuk memperkuat koalisi.

Terakhir, era Prabowo pada Kabinet Merah Putih (2024–2029), jumlah menteri meningkat signifikan menjadi 48, ditambah dengan 56 wakil menteri, sehingga total terdapat 104 anggota kabinet.

Komposisi ini didominasi unsur parpol, dengan 36 menteri berasal dari parpol dan 12 menteri dari kalangan profesional. Penambahan jumlah menteri ini bertujuan untuk memperluas representasi politik, mempercepat program kerja, dan memastikan dukungan legislatif yang kuat.

Partai Golkar mendapatkan jatah terbanyak di kabinet, menunjukkan adanya kompromi politik yang lebih dalam untuk mengakomodasi kepentingan koalisi besar.

3. Upaya kerdilkan oposisi pemerintah

Gedung Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Oleh sebab itu, Pemohon beranggapan, menimbang kompromi politik yang terjadi antara presiden terpilih dengan partai pengusul melalui mekanisme pengangkatan menteri semakin menunjukkan adanya sebuah tendensi dalam memperkuat koalisi pendukung dan menghilangkan peran oposisi. 

Parpol yang awalnya tidak menjadi bagian dari partai pengusul presiden, tetapi memilih untuk bergabung ke dalam koalisi pemerintahan, hampir selalu mendapatkan kedudukan sebagai menteri.

"Bahwa pragmatisme parpol telah mengantarkan pada pengisian jabatan-jabatan kementerian yang disesuaikan dengan kepentingan parpol semata, bukan pada kepentingan rakyat dan kompetensi menteri yang ditunjuk. Menteri asal partai politik cenderung memiliki peran ganda, yaitu tidak hanya bertugas menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai pembantu presiden, tetapi juga bertanggungjawab terhadap partai politik dan seluruh agenda parpol tersebut," tutur Pemohon.

Bahkan, menurut peneliti ICW Lalola Easter, banyak menteri yang berasal dari parpol melakukan korupsi yang dilatarbelakangi dengan keperluan pendanaan kampanye sebuah partai politik.

Pemohon melalui petitum permohonan meminta kepada Hakim MK menyatakan Pasal 23 huruf c UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemohon juga meminta agar MK menegaskan pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai mencakup pula pengurus (fungsionaris) partai politik.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ilyas Listianto Mujib
Yosafat Diva Bayu Wisesa
Ilyas Listianto Mujib
EditorIlyas Listianto Mujib
Follow Us