UU Pemilu Digugat ke MK, Minta Presiden-Wapres Tak Cawe-cawe

- Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian Materiil Pasal 281 dan Pasal 299 UU Pemilu.
- Pasal yang digugat membahas diperbolehkannya presiden dan wakil presiden kampanye mendukung kandidat tertentu.
- Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 281 dan Pasal 299 UU Pemilu inkonstitusional.
Jakarta, IDN Times - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian Materiil Pasal 281 ayat 1 dan Pasal 299 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Permohonan dalam Perkara Nomor 172/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Lintang Mendung Kembang Jagad.
Kedua pasal yang digugat itu membahas mengenai diperbolehkannya presiden dan wakil presiden mengikuti kampanye mendukung salah satu kandidat.
Pasal 281 ayat 1 UU Pemilu menyebutkan, "Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota harus memenuhi ketentuan: 1. Tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; 2. Menjalani cuti di luar tanggungan negara."
Sementara, Pasal 299 ayat 1 UU Pemilu mengatakan, "Presiden dan wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye."
1. Bertentangan dengan hak konstitusional

Dalam persidangan, Pemohon mengatakan ketentuan Pasal 281 ayat 1 dan Pasal 299 ayat 1 UU Pemilu tersebut memiliki hubungan sebab akibat (causa verband) yang bertentangan dengan hak konstitusionalnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal ini memberikan hak kepada Pemohon untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang setara di hadapan hukum. Causa verband adanya kerugian konstitusional dengan kampanye yang dilakukan oleh presiden atau wakil presiden sangat mempengaruhi hak Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan setara di hadapan hukum karena kepala negara hanya memberikan dukungannya kepada salah satu calon presiden dan wakil presiden.
Hal itu menimbulkan kerugian Pemohon karena tidak mendapatkan keadilan berupa dukungan yang sama dengan calon presiden dan wakil presiden lawan dari pemohon di dalam kontestasi Pilpres.
"Dengan dukungan dan elektabitas yang tinggi tersebut dapat mempengaruhi hasil suara pemilihan umum yang drastis," ujar Lintang dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh.
2. Presiden dan wakil presiden boleh kampanye asalkan buat dirinya

Pemohon beranggapan walaupun presiden dan/atau wakil presiden diberikan hak untuk berkampanye, hal tersebut seharusnya dimaknai sebagai presiden atau wakil presiden yang berstatus sebagai petahana (incumbent) dan berkampanye untuk dirinya sendiri.
"Pemohon beranggapan bahwa walaupun secara konseptual presiden dan/atau wakil presiden dapat dalam 'meletakkan atau memisahkan' jabatannya sebagai persona melalui proses ini. Akan tetapi, secara faktual dua hal tersebut nyaris tidak dapat dipisahkan karena dipengaruhi elektabilitas presiden dan/atau wakil presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dengan presiden dan/atau wakil presiden sebagai individu telah melekat selama proses menjabat," jelas Lintang.
Oleh karena itu, Pemohon dalam petitumnya meminta MK mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Kemudian meminta MK menyatakan materi muatan Pasal 281 ayat 1 dan Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu inkonstitusional, sepanjang tidak dimaknai sebagai wewenang presiden dan wakil presiden dalam kampanye pilpres untuk dirinya sendiri atau periode kedua baginya.
3. Hakim MK minta permohonan Pemohon diperbaiki

Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi, Arsul Sani, meminta Pemohon untuk membaca kembali Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021). Arsul meminta Pemohon untuk memperdalam kerugian konstitusional yang dialami.
"Ini juga harus diperdalam lagi. Bagaimana cara memperdalamnya? Nah, dilihat, kan tadi Yang Mulia Ketua Panel sudah menyampaikan bahwa Pasal 281 ayat 1 dan Pasal 299 ayat 1 ini sudah beberapa kali diajukan permohonan. Nah, di sana dilihat itu rumusan tentang kerugian konstitusional Pemohonnya seperti apa," jelas Arsul.
Majelis Hakim Konstitusi memberikan waktu kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Adapun perbaikan permohonan, baik hardcopy maupun softcopy diterima di MK paling lambat pada Senin, 30 Desember 2024.