Konflik Sudan, Perempuan Kerap Dapat Kekerasan Seksual

- MSF memperingatkan kekerasan seksual terhadap perempuan di Darfur, Sudan Barat
- Sejak konflik antara militer Sudan dan RSF meletus 2 tahun lalu, serangan-serangan yang terjadi di wilayah sangat brutal dan tidak manusiawi
- Pada Januari 2024 - Maret 2025, MSF telah merawat 659 penyintas kekerasan seksual di Darfur Selatan
Jakarta, IDN Times - Médecins Sans Frontières (MSF), atau yang juga dikenal sebagai Dokter Lintas Batas, memperingatkan bahwa kekerasan seksual kerap mengintai para perempuan di wilayah Darfur, Sudan Barat. Organisasi kemanusiaan ini menyerukan tindakan segera untuk melindungi warga sipil dan memberikan dukungan bagi para penyintas.
“Perempuan dewasa dan anak-anak tidak merasa aman di mana pun. Mereka diserang di rumah mereka sendiri, ketika melarikan diri dari kekerasan, mencari makanan, mengumpulkan kayu bakar, bekerja di ladang. Mereka mengatakan kepada kami bahwa mereka merasa terjebak,” kata koordinator darurat MSF, Claire San Filippo, dalam laporan pada Rabu (28/5/2025).
Ia mengungkapkan bahwa sejak konflik antara militer Sudan dan pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) meletus 2 tahun lalu, serangan-serangan yang terjadi di wilayah sangat brutal dan tidak manusiawi. RSF dituduh melakukan kekerasan seksual secara sistematis di seluruh negeri, dilansir dari The New Arab.
1. 659 penyintas kekerasan seksual di Darfur Selatan dirawat MSF sejak 2024
Kekerasan seksual begitu marak di Darfur hingga banyak orang menganggapnya sebagai sesuatu yang tak terhindarkan.
“Beberapa orang datang pada malam hari untuk memperkosa para perempuan dan mengambil semua barang. Saya mendengar beberapa perempuan diperkosa di malam hari. Para pria bersembunyi di toilet atau di ruangan yang bisa mereka kunci. Para perempuan tidak bersembunyi karena bagi kami hanya ada pemukulan dan pemerkosaan, tetapi para pria bisa dibunuh,” kata seorang perempuan kepada tim MSF di Darfur Barat.
Pada Januari 2024 - Maret 2025, MSF telah merawat 659 penyintas kekerasan seksual di Darfur Selatan. Lebih dari setengahnya mengaku diserang oleh kelompok bersenjata, dan 31 persen korban adalah anak-anak di bawah umur.
2. Korban diperkosa beramai-ramai
Di Tawila, sebuah kota kecil berjarak sekitar 60 kilometer dari kota El-Fasher di Darfur Utara, sebanyak 48 penyintas kekerasan seksual dirawat di rumah sakit setempat pada Januari hingga awal Mei 2025. Sebagian besar dari mereka melarikan diri dari serangan RSF di kamp pengungsian Zamzam, yang menewaskan sedikitnya 200 warga sipil dan menyebabkan lebih dari 400 ribu lainnya mengungsi.
Di Chad timur, yang menampung lebih dari 800 ribu pengungsi Sudan, MSF juga telah memberikan perawatan kepada 44 penyintas kekerasan seksual sejak Januari 2025. Hampir setengah dari mereka adalah anak-anak.
Seorang perempuan berusia 17 tahun menceritakan pengalamannya saat diperkosa oleh sejumlah anggota RSF.
"Mereka mengatakan kepada kami, 'Kalian adalah istri tentara Sudan atau anak perempuan mereka.' Kemudian mereka memukuli kami, dan memerkosa kami di jalan, di depan umum. Ada sembilan pria RSF. Tujuh dari mereka memerkosa saya. Saya ingin kehilangan ingatan saya setelah itu," tuturnya.
3. Akses terhadap layanan bagi para penyintas kekerasan seksual masih terbatas
Menurut manajer medis darurat MSF, Ruth Kauffman, akses terhadap layanan bagi para penyintas kekerasan seksual masih sangat terbatas dan perlu segera ditingkatkan.
“Orang-orang – kebanyakan perempuan dewasa dan anak-anak – yang menderita kekerasan seksual sangat membutuhkan perawatan medis, termasuk dukungan psikologis dan layanan perlindungan,” tambahnya.
Sejak April 2023, perang saudara di Sudan telah menewaskan puluhan ribu orang dan memaksa 13 juta lainnya mengungsi. Konflik ini juga memicu apa yang disebut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia.