Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Korsel Menjadi Negara dengan Masyarakat Super Tua

Ilustrasi orang yang sudah lanjut usia (lansia). (pexels.com/Matthias Zomer)
Intinya sih...
  • Korea Selatan mencapai status 'super tua' dengan 20% penduduk berusia di atas 65 tahun
  • Populasi lansia di wilayah Seoul mencapai 17,7%, sementara di luar wilayah ibu kota mencapai 22,38%
  • Pemerintah Korsel merencanakan pembentukan kementerian baru untuk mengatasi populasi yang menua dengan cepat

Jakarta, IDN Times - Korea Selatan (Korsel) secara resmi menjadi masyarakat 'super tua', dengan rasio penduduk berusia 65 tahun atau lebih mencapai 10,24 juta orang. Angka itu melampaui 20 persen dari total populasi negara tersebut, yang saat ini mencapai 51,22 juta orang.

"Jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki di antara mereka yang berusia 65 tahun ke atas. Dari keseluruhan populasi, 17,83 persen laki-laki dan 22,15 persen perempuan merupakan warga lanjut usia (lansia)," kata Kementerian Dalam Negeri dan Keamanan, dikutip dari The Straits Times pada Rabu (25/12/2024).

Menurut PBB, masyarakat yang sangat tua adalah kelompok yang lebih dari 20 persen penduduknya berusia 65 tahun atau lebih. Mereka yang berusia di atas 14 persen dan 7 persen, masing-masing dikategorikan sebagai masyarakat tua dan masyarakat yang menua.

1. Data persentase jumlah usia lansia

Berdasarkan wilayah, 17,7 persen penduduk wilayah Seoul berusia 65 tahun ke atas, yang mana angka tersebut mencapai 22,38 persen di wilayah lain. Hal ini menunjukkan proporsi warga lanjut usia yang lebih tinggi yang tinggal di luar wilayah ibu kota karena banyaknya generasi muda yang pindah dari daerah pedesaan ke kota. Di Seoul, para lansia menyumbang 19,41 persen dari total populasi.

Pada 10 Juli 2024, jumlah orang yang berusia 65 tahun ke atas melampaui 10 juta orang. Akibatnya, Kementerian Dalam Negeri merevisi perkiraannya dan meramalkan bahwa Negeri Ginseng akan menjadi masyarakat super tua pada awal tahun 2025, yang melampaui ekspektasi.

Sejak 2008, kelompok usia lansia terus meningkat, ketika mereka yang berusia 65 tahun ke atas berjumlah 4,94 juta orang atau sekitar 10,02 persen dari total populasi. Pada 2019, rasionya melampaui 15 persen, yakni mencapai 19,05 persen pada Januari 2024 dengan 9,77 juta individu dalam kelompok usia tersebut.

2. Korsel butuh kementerian baru yang menangani masalah populasi

Potret suasana kota Seoul, Korea Selatan. (pexels.com/Markus Winkler)

Berdasarkan data resmi itu, seorang pejabat kementerian mengatakan bahwa pemerintah sangat perlu membentuk kementerian yang berfokus pada populasi. Nantinya, kementerian baru itu bertugas memberlakukan tindakan respons mendasar dan sistematis untuk mengatasi populasi yang menua dengan cepat.

Pihaknya juga merujuk pada rencana pemerintah sebelumnya untuk meluncurkan kementerian baru mengenai strategi kependudukan, guna mengatasi krisis demografi.

Pemerintah Korsel telah berupaya keras untuk membalikkan tren demografi negara tersebut. Pada Mei 2024, Presiden Yoon Suk Yeol meminta bantuan parlemen untuk membentuk kementerian baru, guna mengatasi apa yang disebutnya sebagai 'darurat nasional'.

Pada 2022, otoritas negara itu menyatakan bahwa ratusan miliar dolar AS telah digelontorkan untuk mencoba meningkatkan populasi selama 16 tahun terakhir. Akan tetapi, inisiatif seperti memperpanjang cuti ayah berbayar, menawarkan voucher bayi berupa uang tunai kepada orang tua baru, dan kampanye sosial yang mendorong para pria untuk berkontribusi dalam pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga, gagal membalikkan tren tersebut.

3. Masalah demografi tidak hanya terjadi di Korsel, tapi juga di negara lainnya

Bendera Korea Selatan. (Unsplash.com/Stephanie Nakagawa)

CNN melaporkan, data tersebut menggarisbawahi bom waktu demografi yang dihadapi Korea Selatan dan negara Asia Timur lainnya, saat masyarakat mereka menua hanya beberapa dekade setelah industrialisasi pesat mereka.

Banyak negara Eropa juga menghadapi populasi yang menua, namun imigrasi membantu mereka mengurangi dampaknya. Sementara, negara-negara seperti Korsel, Jepang, dan China telah menghindari imigrasi massal untuk mengatasi penurunan populasi usia kerja mereka.

Para ahli mengungkapkan bahwa alasan terjadinya pergeseran demografi di seluruh Asia, meliputi budaya kerja yang menuntut, upah yang stagnan, meningkatnya biaya hidup, perubahan sikap terhadap pernikahan dan kesetaraan gender, serta meningkatnya kekecewaan di kalangan generasi muda.

Dilaporkan, meskipun faktor ekonomi berperan, mengucurkan uang untuk menyelesaikan permasalahan tersebut terbukti tidak efektif.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rahmah N
EditorRahmah N
Follow Us