Militer Sudan Tolak Sanksi AS soal Penggunaan Senjata Kimia

Jakarta, IDN Times - Militer Sudan menolak sanksi Amerika Serikat (AS) terkait penggunaan senjata kimia dalam perang sipil Sudan. Pihaknya menyebut bahwa Washington berniat melakukan pemerasan politik.
"Tuduhan kepada militer Sudan menggunakan senjata kimia pada 2024 adalah berita menyimpang dan sangat serius. Tentara kami berperang dengan metode yang bersih dan tidak pernah menggunakan senjata terlarang," ungkap Juru Bicara Militer Sudan, Brigadir Nabil Abdallah, pada Sabtu (24/5/2025).
Perang sipil Sudan antara militer Sudan (SAF) dan Rapid Support Forces (RSF) sudah berlangsung sejak April 2023. Hingga kini, kedua belah pihak masih melancarkan serangan dan belum ada tanda-tanda akan berakhir.
1. Klaim AS berupaya mengaburkan fakta di Sudan
Menteri Budaya dan Informasi Sudan, Khaled Aleisir, mengatakan bahwa tudingan dan putusan sepihak dari AS adalah sebuah penyimpangan fakta.
"Pernyataan AS selama ini mengarah pada ketidakstabilan dan menjauhkan Sudan dari perdamaian dan kesejahteraan. Klaim ini sekali lagi menargetkan tentara Sudan yang berhasil mencapai kesuksesan di medan perang untuk mengubah realita," ungkapnya, dikutip dari Sudan Tribune.
AS disebut berupaya memberikan informasi salah agar mengubah opini publik Sudan dan justru mendukung pihak yang melakukan kejahatan terhadap rakyat Sudan.
Sementara itu, ia juga menuding pemerintah AS sebelumnya sudah mendukung penetapan perjanjian perdamaian di Sudan dengan memastikan tetap adanya militan di dalam skema transisi buatan.
2. AS desak Sudan tidak gunakan senjata kimia
Pada Kamis (22/5/2025), Juru Bicara Kementerian Luar Negeri AS, Tammy Bruce, menjatuhkan sanksi kepada militer dan pemerintah Sudan terkait penggunaan senjata kimia di tengah perang saudara di negaranya.
"AS menyerukan kepada Sudan untuk tidak lagi menggunakan senjata kimia dan mengikuti obligasinya di bawah Konvensi Senjata Kimia (CWC)," terangnya, dilansir dari CNN.
Pada Januari, AS sudah menetapkan sanksi kepada Pemimpin Militer Sudan, Abdel Fattah al-Burhan yang menolak negosiasi damai dan lebih memilih pertumpahan darah untuk mengakhiri konflik di negaranya.
Tak hanya itu, Washington juga menetapkan sanksi kepada Pemimpin RSF, Mohamed Hamdan Dagalo dan sejumlah kelompok militan lain atas keterlibatan dalam pembunuhan massal di Sudan.
3. Migran Sudan ditemukan tewas di gurun Libya
Kepala Ambulans dan Layanan Darurat Kufra, Libya, Ebrahim Belhassan mengungkapkan bahwa terdapat tujuh migran Sudan yang tewas pada Jumat (23/5/2025). Mereka ditemukan tewas setelah mobil yang ditumpanginya mengalami kerusakan di tengah gurun.
Melansir Africa News, mobil tersebut membawa 34 migran Sudan yang masuk ke Libya dari Chad. Mereka ditemukan setelah 11 hari mengalami kerusakan di tengah gurun dan kehabisan makanan beserta air.
"Korban yang selamat hampir tewas. Mereka mengalami dehidrasi akut dan mengalami tanda-tanda stres dan trauma karena melihat yang lain sekarat dan mereka yakin bahwa mereka akan tewas," ungkapnya.
Sebanyak 22 penyintas, termasuk lima anak-anak sudah dikirim ke Kufra untuk mendapatkan penanganan medis. Selain itu, sebanyak lima orang yang menumpangi mobil tersebut hilang dan diduga sudah berjalan untuk mencari bantuan.