Polisi Selandia Baru Bubarkan Massa Antivaksin yang Kemah di Depan DPR

Jakarta, IDN Times - Ratusan massa antivaksin di Selandia Baru menggelar protes di sekitar gedung parlemen dan berkemah mulai Selasa (8/2/22). Mereka menolak kebijakan wajib vaksin dan aturan COVID-19 lainnya.
Ratusan orang itu terinspirasi dari sopir truk Kanada, yang telah memblokade kota Ottawa sampai pemerintah mengumumkan kondisi darurat. Di Selandia Baru, mereka menamai gerakannya "Konvoi untuk Kebebeasan", dengan membawa mobil dan memblokir jalananan di ibu kota Wellington.
Selandia Baru membebaskan orang-orang untuk melakukan demonstrasi dan menyampaikan pendapat. Tapi, demonstrasi tersebut semakin mengancam, sehingga polisi diturunkan untuk membubarkan massa. Bentrokan terjadi dan puluhan orang ditangkap oleh pihak berwajib.
1. Demonstran dan polisi terlibat bentrok
Selandia Baru adalah negara yang terbilang paling ketat dalam menerapkan aturan pembatasan COVID-19. Aturan ketat itu telah membantu menjaga angka infeksi dan kematian tetap rendah.
Tapi, aturan COVID-19 dengan banyak pembatasan termasuk di antaranya isolasi minimal 10 hari dan kewajiban vaksin, telah menimbulkan kebencian yang tumbuh di masyarakat.
Mereka yang mulai jenuh dan muak dengan aturan tersebut, melakukan protes dengan berkemah di sekitar parlemen. Jumlah mereka mencapai ratusan orang.
Dilansir France24, pada Kamis pagi, polisi mulai bertindak untuk membubarkan demonstran yang berkemah di sekitar gedung parlemen. Polisi telah memperingatkan bahwa mereka yang tidak membubarkan diri akan ditangkap.
Bentrokan pun terjadi ketika polisi mendesak massa untuk menyingkirkan tendanya. Para demonstran kemudian melawan polisi, memukul, dan menendang sambil berteriak "Ini bukan demokrasi."
Mereka juga memekikkan penghapusan kewajiban vaksinasi.
2. Sebagian besar warga Selandia Baru mendukung vaksinasi
Selandia Baru terhitung sebagai negara dengan penanganan wabah COVID-19 terbaik di dunia. Aturan ketat dan penutupan perbatasan internasional yang tegas, telah mencegah wabah berkembang di negara itu.
Sampai saat ini, jumlah infeksi di Selandia Baru hanya 18.837 orang dan mereka yang meninggal tercatat hanya 53 orang. Rendahnya angka statistik infeksi dan korban akibat COVID-19 tidak lepas dari tindakan keras pemerintahan Jacinda Ardern.
Selain itu, Selandia Baru juga menerapkan kewajiban vaksin secara luas untuk para pekerja. Dilansir The Guardian, mereka yang mendapatkan kewajiban vaksin adalah para pekerja yang memiliki mobilitas tinggi serta sering melakukan kontak dengan orang lain.
Mereka ini termasuk pekerja kesehatan, pengajaran dan polisi. Di lingkup bisnis, para pekerja perhotelan, pusat kebugaran, dan salon masuk pada tingkat siaga merah atau waspada. Mandat kewajiban vaksin mempengaruhi sekitar 40 persen dari pekerja tersebut.
Tapi secara umum, sebagian besar warga Selandia baru mendukung vaksinasi. Negara ini termasuk memiliki presentase tertinggi, dengan 94 persen warga di atas usia 12 tahun, telah mendapatkan vaksin dua dosis.
Para demonstran yang mengepung parlemen juga tidak terlalu ditanggapi pemerintah, dikutip dari BBC.
Perdana Menteri Jacinda Ardern mengatakan, "saya pikir akan salah mengkarakterisasi apa yang telah kita lihat di luar (gedung parlemen) sebagai representasi mayoritas."
3. Lebih dari 50 orang ditangkap

Protes kini telah memasuki hari ketiga. Karena dianggap mengganggu, polisi akhirnya bertindak untuk membersihkan kemah dan mengusir para demonstran.
Dilansir Reuters, Ardern mengakui setiap warga Selandia Baru memiliki hak untuk protes, tapi tidak boleh mengganggu kehidupan orang lain. Upaya polisi membubarkan massa mendapatkan perlawanan sehingga terjadi bentrokan.
Beberapa demonstran yang berbaris menghadapi polisi, ditarik dan bergulat di tanah lalu mereka diborgol. Lebih dari 50 orang ditangkap.
Salah satu demonstran mengatakan "kami ingin kebebasan kami kembali."
Mereka merasa aturan wajib vaksinasi dan aturan ketat COVID-19 telah membuat mereka kehilangan pekerjaan.
Kendaraan para demonstran yang melakukan pemblokiran di sekitar jalanan gedung parlemen juga telah diperingatkan oleh polisi untuk pindah. Jika tidak, maka mereka akan menghadapi tindakan penegakan hukum dari polisi.