UNICEF: 473 Juta Anak di Dunia Hidup di Zona Konflik

- UNICEF melaporkan hampir 1 dari 5 anak di dunia tinggal di wilayah konflik, meningkat dua kali lipat dari era 1990-an.
- 47,2 juta anak terpaksa mengungsi akibat konflik dan kekerasan hingga akhir 2023, dengan peningkatan intensitas konflik di berbagai negara.
- Konflik bertanggung jawab atas risiko putus sekolah, kekurangan gizi, kekerasan seksual, dan ancaman kesehatan bagi anak-anak di zona konflik.
Jakarta, IDN Times - UNICEF melaporkan hampir 1 dari 5 anak di dunia kini tinggal di wilayah yang dilanda konflik. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dari sekitar 10 persen di era 1990-an menjadi 19 persen saat ini. Data terbaru menunjukkan lebih dari 473 juta anak hidup di daerah yang terdampak konflik.
Badan PBB ini mencatat rekor 32.990 pelanggaran berat terhadap 22.557 anak sepanjang 2023. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak Dewan Keamanan PBB memulai pemantauan.
Data UNICEF memperlihatkan bahwa konflik bersenjata bertanggung jawab atas 80 persen dari semua kebutuhan bantuan kemanusiaan global.
"Tahun 2024 merupakan salah satu tahun terburuk dalam sejarah UNICEF, baik dari jumlah anak yang terdampak maupun tingkat dampaknya," ujar Direktur Eksekutif UNICEF, Catherine Russell, dilansir ReliefWeb.
1. Anak-anak mewakili 40 persen pengungsi global
Data PBB menunjukkan 47,2 juta anak terpaksa mengungsi akibat konflik dan kekerasan hingga akhir 2023. Jumlah ini diperkirakan terus bertambah sepanjang 2024 seiring meningkatnya intensitas konflik di berbagai negara, seperti Haiti, Lebanon, Myanmar, Palestina, dan Sudan.
Anak-anak yang hidup di zona konflik menghadapi risiko tinggi putus sekolah, kekurangan gizi, dan terpaksa meninggalkan rumah mereka berulang kali. Di negara-negara yang dilanda konflik, rata-rata lebih dari sepertiga populasi hidup dalam kemiskinan.
Meski anak-anak hanya mewakili 30 persen populasi global, mereka merupakan 40 persen dari total pengungsi dunia. Angka ini bahkan mencapai 49 persen dari jumlah pengungsi internal di berbagai negara.
Badan PBB ini juga melaporkan peningkatan drastis kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak di Haiti. Laporan kasus kekerasan seksual terhadap anak di negara tersebut melonjak 1.000 persen sepanjang 2024.
2. Sekitar 52 juta anak putus sekolah karena konflik

Lebih dari 52 juta anak di negara yang terkena konflik diperkirakan putus sekolah. Di Gaza dan Sudan, mayoritas anak-anak telah kehilangan akses pendidikan selama lebih dari setahun.
Masalah kesehatan juga mengancam anak-anak di zona konflik. Sekitar 40 persen anak yang tidak divaksinasi atau kurang vaksinasi tinggal di negara-negara yang terdampak konflik. Situasi ini membuat mereka sangat rentan terhadap wabah penyakit seperti campak dan polio.
Di Gaza, virus polio kembali terdeteksi pada Juli 2024 lalu setelah 25 tahun tidak ada kasus. Kampanye vaksinasi yang dipimpin PBB berhasil menjangkau 90 persen anak-anak berkat gencatan senjata sementara.
Konflik berkepanjangan telah memutus akses terhadap kebutuhan dasar. Lebih dari setengah juta orang di lima negara yang dilanda konflik kini hidup dalam kondisi kerawanan pangan ekstrem.
3. Anak-anak di Gaza alami trauma berat

Di Ukraina, PBB memverifikasi jumlah korban anak dalam sembilan bulan pertama 2024 telah melampaui total korban sepanjang 2023. Sementara di Gaza, 44 persen dari korban yang terverifikasi PBB merupakan anak-anak.
Tahun 2024 juga tercatat sebagai tahun paling mematikan bagi pekerja kemanusiaan. Sebanyak 281 petugas bantuan kemanusiaan tewas dalam menjalankan tugasnya. Angka ini menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah.
Konflik telah meninggalkan trauma mendalam bagi anak-anak. Sebuah studi yang didukung organisasi War Child mengungkapkan 96 persen anak-anak di Gaza merasa kematian mereka sudah dekat. Hampir setengah dari mereka bahkan mengaku ingin mati akibat trauma yang dialami.
"Sekolah mereka dibom, rumah mereka hancur, dan keluarga mereka tercerai-berai. Mereka tidak hanya kehilangan rasa aman dan akses terhadap kebutuhan dasar untuk bertahan hidup, tapi juga kesempatan bermain, belajar, dan sekadar menjadi anak-anak," ujar Russel dilansir The Guardian.