Apakah Disrupsi AI Ubah Cara Kerja Jurnalis Menulis Berita?

- AI tidak memiliki kreativitas dan emosi seperti jurnalis
- Adopsi AI dalam ruang redaksi meningkat hampir 60 persen
- News value lebih penting dari pada algoritma dalam jurnalisme
Jakarta, IDN Times - Dr. Dini Fronitasari dari Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial Indonesia mengungkapkan di era saat ini arus informasi yang dikonsumsi masyarakat menimbulkan pertanyaan, apakah jurnalis saat ini menentukan narasi atau narasi yang menentukan jurnalis untuk menulis.
Hal ini diungkapkan Dini saat diskusi di Konvensi Nasional Media Massa 2025 dengan tema "Disrupsi Berganda Terhadap Media Massa" oleh Dewan Pers. Dalam sesi Relasi Media Massa dengan Teknologi dan Platform dia mengatakan kecerdasan artifisal memang bisa menjadi rekan atau mitra media, namun perlu diantispasi bisa menjadi penguasa media yang bisa mengubah informasi.
"Indikator yang pertama banyak sekali AI sebagai agen otomatis jurnalistik, kita bisa lihat menurut digital news report 2024 yang dikeluarkan oleh reautres itu jelas bahwa adopsi AI dalam ruang redaksi itu meningkat hampir 60 persen," katanya, Kamis (20/2/2025).
1. AI tidak memiliki kreativitas dan emosi seperti seorang jurnalis

Dia mengatakan, AI tidak memiliki kreativitas dan emosi seperti seorang jurnalis yang memang melihat kondisi di lapangan hingga kondisi emosi yang ada. Maka menurut dia penggunaan AI di bidang jurnalistik perlu dibatasi agar esensi emosional tidak hilang.
"Kita tetap juga harus memberikan humanitynya di dalam menulis berita," katanya.
Dia juga menyoroti bagaimana algoritma saat ini jadi kurator berita, hingga yang keluar saat ini bukan faktual tetapi lebih banyak berita yang sensasional. Maka dalam memandang AI masyarakat harus bisa kritis dalam penggunaannya, edukasi perlu ditekankan agar penggunaan AI bisa lebih bijak dan beretika.
2. AI bukan produk jurnalistik dan bisa menjadi pisau bermata dua

Dalam kesempatan yang sama, Pemimpin redaksi IDN Times, Zulfiani Lubis mengungkapkan news value lebih penting dari pada algoritma. Karena jika bicara disrupsi AI di media pada akhirnya konsumen media memang akan di kontrol oleh algoritma, namun ini seperti pisau bermata dua. Maka AI juga, kata dia bukanlah produk jurnalistik dan bisa menjadi pisau bermata dua, karena verifikasi hanya bisa dilakukan oleh manusia.
3. Values dan cara kerja jurnalis tidak akan pernah berubah

Namun pada akhirnya, produk jurnalistik dihasilkan salah satunya adalah dengan adanya kutipan wawancara di dalamnya. Karena memang jurnalis punya dua sumber untuk beritanya. Hal ini yang tidak akan berubah jika memang seseorang masih menyebut dirinya jurnalis.
"Ada namanya primary source ada secondary source. Primary source kita wawancara langsung kalau dulu door stop, enggak bisa lewat WhatsApp doang secondary source dari riset dari data dan menurut saya sampai kapanpun values dan cara kerja ini tidak akan pernah berubah, kalau memang masih ingin menyebut diri sebagai jurnalis," katanya.