Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Eks Pimpinan KPK: Memaafkan Koruptor adalah Ide yang Berbahaya

Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode M Syarif. (IDN Times/Santi Dewi)
Intinya sih...
  • Laode M. Syarif menilai pemaafan koruptor oleh Prabowo sebagai ide gila dan berbahaya
  • Yusril Ihza Mahendra melihatnya sebagai strategi pemulihan kerugian negara dan sesuai dengan UNCAC
  • Zaenur Rohman menilai amnesti tidak tepat untuk koruptor, pemerintah sebaiknya mengkriminalisasi pejabat yang melakukan illicit enrichment

Jakarta, IDN Times - Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode M. Syarif menilai wacana pemaafan koruptor yang disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto ketika berada di Mesir merupakan ide gila dan berbahaya. Sebab, hal itu dapat berdampak mengajak pejabat, ASN atau aparat penegak hukum untuk berbuat korupsi. 

"Karena kalau dia tertangkap, dia tidak akan dipenjara dan hanya diminta untuk mengembalikan uang yang dia curi," ujar Syarif melalui akun media sosial dan dikutip pada Minggu (22/12/2024). 

Bila pejabat korup itu tidak tertangkap, maka mereka akan bisa hidup bahagia dan menikmati rasuahnya. Syarif khawatir bila wacana tersebut direalisasikan akan semakin merusak tatanan hukum di Indonesia. 

Wacana pemaafan koruptor disampaikan oleh Prabowo ketika bertemu dengan mahasiswa Indonesia di Kairo, Mesir pada 18 Desember 2024. Prabowo mengatakan ia memberikan kesempatan untuk bertobat bagi para koruptor. 

"Hai, para koruptor atau yang merasa pernah mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan, tapi kembalikan dong," kata Prabowo ketika itu. 

Apa komentar para menteri di bawah Prabowo menerjemahkan wacana tersebut?

1. Menko Yusril sebut pernyataan Prabowo strategi yang menekankan pengembalian aset

Menko Kumham Imipas, Yusril Ihza Mahendra (IDN Times/Aditya Mustaqim)

Sementara, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (IMIP), Yusril Ihza Mahendra menilai pernyataan Prabowo itu sebagai salah satu strategi pemberantasan korupsi yang menekankan pada pemulihan kerugian negara atau asset recovery

Ia mengatakan hal itu sejalan dengan United Nation Convention Againts Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi dengan UU No 7 Tahun 2006. "Sebenarnya setahun sejak ratifikasi, kami berkewajiban untuk menyesuaikan UU Tipikor kita dengan konvensi tersebut. Namun kita terlambat melakukan kewajiban itu dan baru sekarang ingin melakukannya," kata Yusril di dalam keterangan tertulis pada Jumat (20/12/2024). 

Yusril menggarisbawahi upaya pemberantasan korupsi sesuai pengaturan konvensi adalah pencegahan, pemberantasan korupsi secara efektif dan pemulihan kerugian keuangan negara. 

2. Koruptor yang hanya dibui tanpa ada penyitaan aset tak bermakna apa-apa

Ilustrasi korupsi. (IDN Times/Sukma Shakti)

Lebih lanjut, Yusril mengatakan bila pelaku korupsi hanya dipenjara tetapi aset hasil korupsi tetap dikuasai atau disimpan di luar negeri, maka penegakan hukum seperti itu dinilai tak membawa manfaat banyak bagi pembangunan ekonomi. Selain itu, juga tak membawa peningkatan kesejahteraan rakyat.

"Kalau uang hasil korupsi mereka kembalikan, pelakunya dimaafkan, uang tersebut masuk ke APBN untuk menyejahterakan rakyat," tutur dia. 

Selanjutnya, pelaku korupsi di dunia usaha bisa kembali meneruskan usahanya dengan cara yang benar dan tidak akan mengulangi lagi praktik korupsi.

3. Koruptor tidak sepantasnya mendapatkan amnesti dari presiden

Ilustrasi borgol. (IDN Times/Mardya Shakti)

Sementara, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman menilai wacana untuk mengampuni koruptor lewat program amnesti tidak tepat. Amnesti bisa saja diberikan untuk pelaku tindak kejahatan politik. Sebab, pelaku, tujuan dan manfaat yang bisa diraih jelas. 

"Tapi, kalau ini mau diberlakukan untuk tindak kejahatan korupsi, siapa yang mau ditawari (amnesti)? Kedua, harta sejauh mana yang harus dikembalikan? Berarti, kan harus dilakukan diidentifikasi," ujar Zaenur pada Sabtu (21/12/2024). 

Menurutnya daripada memaafkan pelaku korupsi, pemerintah sebaiknya mulai mengkriminalisasi para pejabat yang melakukan illicit enrichment atau berupaya memperkaya diri sendiri. 

"Caranya dengan mengamandemen UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Perampasan Aset. Kalau itu bisa disahkan, maka pengembalian aset bisa optimal," tutur dia. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
Dwifantya Aquina
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Follow Us